Pasalnya, perempuan dengan disabilitas bukan hanya rentan menjadi korban kekerasan, tetapi juga mengalami ketidakadilan ketika masuk dalam proses penanganan oleh pihak berwajib.
"Aparat penegak hukum sering kali bilang, 'ini kesaksiannya bisa dipercaya enggak?'. Jadi mereka (penegak hukum) ragu dengan testimoni korban kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas intelektual," cerita Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan dan aktivis disabilitas.
Contoh lain, korban kekerasan terhadap perempuan dengan tuna netra kerap mengalami pertanyaan dari penegak hukum yang tidak sensitif.
"Misalnya ditanya 'kamu bisa enggak memberikan ciri-ciri dari pelaku?'. Sementara korban kan tidak bisa mengenali pelakunya bagaimana. Ini kan tidak sensitif," kritik laki-laki yang akrab dipanggil Cak Fu.
Terlebih lagi, jika korban kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas netra tidak bisa memberikan ciri-ciri, maka pengaduannya rentan tidak dilanjutkan oleh kepolisian dengan alasan alat bukti tidak cukup.
"Belum lagi kalau nanti korbannya adalah disabilitas tuli. Aparat penegak hukum masih banyak yang tidak melengkapi fasilitas untuk juru bahasa isyarat, yang sebenarnya itu bisa diakomodir oleh polisi," tutur Cak Fu lagi.
Oleh karena itu, sering kali komunikasi tidak lancar, yang menyebabkan penegak hukum beralasan alat buktinya tidak cukup, sehingga kasusnya tidak bisa diproses lebih lanjut.
"Ini hambatan yang kerap terjadi ketika terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas," ujarnya.
Baca Juga: Rentan di Atas Rentan: Tantangan Berat Korban Kekerasan terhadap Perempuan Disabilitas