Parapuan.co - Seorang perempuan dengan kondisi disabilitas berusia 23 tahun di Bandung diduga menjadi korban pemerkosaan oleh belasan laki-laki.
Yaitu N (23), perempuan dengan disabilitas tunarungu yang menjadi korban pemerkosaan sejak tahun 2022 oleh 12 pelaku.
Dampak pemerkosaan yang dilakukan bertahun-tahun ini membuat N harus mengandung anak dan menyebabkan trauma berat.
Kasus mengenaskan di awal tahun ini pun lagi-lagi membuktikan bagaimana rentannya perempuan disabilitas menjadi korban kekerasan seksual.
Menurut UN Women, 83 persen perempuan disabilitas mengalami kekerasan seksual.
Hal ini didukung dengan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang menunjukkan bahwa 60 persen korban kekerasan seksual adalah perempuan disabilitas.
Bahkan, laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas meningkat 20 persen pada tahun 2020.
Hambatan Akses Keadilan
Peribahasa 'sudah terjatuh, tertimpa tangga' rasanya bisa menggambarkan bagaimana diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan disabilitas ketika mengalami kekerasan seksual.
Baca Juga: Panduan Memilih Sepatu untuk Perempuan dengan Disabilitas dan Kebutuhan Khusus
Pasalnya, perempuan dengan disabilitas bukan hanya rentan menjadi korban kekerasan, tetapi juga mengalami ketidakadilan ketika masuk dalam proses penanganan oleh pihak berwajib.
"Aparat penegak hukum sering kali bilang, 'ini kesaksiannya bisa dipercaya enggak?'. Jadi mereka (penegak hukum) ragu dengan testimoni korban kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas intelektual," cerita Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan dan aktivis disabilitas.
Contoh lain, korban kekerasan terhadap perempuan dengan tuna netra kerap mengalami pertanyaan dari penegak hukum yang tidak sensitif.
"Misalnya ditanya 'kamu bisa enggak memberikan ciri-ciri dari pelaku?'. Sementara korban kan tidak bisa mengenali pelakunya bagaimana. Ini kan tidak sensitif," kritik laki-laki yang akrab dipanggil Cak Fu.
Terlebih lagi, jika korban kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas netra tidak bisa memberikan ciri-ciri, maka pengaduannya rentan tidak dilanjutkan oleh kepolisian dengan alasan alat bukti tidak cukup.
"Belum lagi kalau nanti korbannya adalah disabilitas tuli. Aparat penegak hukum masih banyak yang tidak melengkapi fasilitas untuk juru bahasa isyarat, yang sebenarnya itu bisa diakomodir oleh polisi," tutur Cak Fu lagi.
Oleh karena itu, sering kali komunikasi tidak lancar, yang menyebabkan penegak hukum beralasan alat buktinya tidak cukup, sehingga kasusnya tidak bisa diproses lebih lanjut.
"Ini hambatan yang kerap terjadi ketika terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas," ujarnya.
Baca Juga: Rentan di Atas Rentan: Tantangan Berat Korban Kekerasan terhadap Perempuan Disabilitas
Maka dari itu, dibutuhkan dukungan semua pihak untuk bisa turut menghadirkan ruang aman bagi semua perempuan disabilitas.
Termasuk turut aktif membantu perempuan disabilitas ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual.
Bantuan untuk Perempuan Disabilitas yang Alami Kekerasan Seksual
Seperti disarankan oleh Cak Fu, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk membantu korban kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas.
"Jadi kalau ada masyarakat yang melihat perempuan disabilitas menjadi korban kekerasan, step pertama adalah amankan korban," ujar Cak Fu yang kerap membantu advokasi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas.
Kemudian, adukan kepada kepolisian dengan mencari lembaga pendamping, misalnya seperti LBH Apik dan beberapa women crisis center lainnya.
"Berikutnya adalah mengidentifikasi disabilitasnya apa. Karena disabilitas itu spektrumnya sangat luas," jelasnya.
Ketika sudah mengenali jenis disabilitasnya, maka Kawan Puan bisa mengomunikasikannya dengan organisasi penyandang disabilitas.
"Dari situ kita bisa bersama-sama mendampingi korban. Dan ketika nanti mengalami hambatan dalam proses di kepolisian atau pengaduan dan lain sebagainya, silahkan nanti berkomunikasi dengan Komnas Perempuan atau Komisi Nasional Disabilitas," papar Cak Fu lagi.
Baca Juga: 5 Langkah Utama Cegah Diskriminasi terhadap Perempuan Difabel
Kedua organisasi ini sudah memiliki kerja sama terkait dengan penanganan kasus-kasus kekerasan yang korbannya adalah perempuan dengan disabilitas.
"Sehingga dengan demikian, kita bisa mendorong aparat penegak hukum untuk menyelesaikan dan memproses kasusnya sesuai dengan hak-hak dari korban, khususnya korban dengan kondisi disabilitas," tuturnya.
Apabila Kawan Puan membutuhkan bantuan Komnas Perempuan dan Komisi Nasional Disabilitas, bisa menghubungi hotline darurat SAPA 129 / 08111129129.
(*)