Parapuan.co - Kawan Puan, pada 2024 kemarin ada fenomena perempuan Gen Z di Amerika Serikat yang memilih untuk tidak terlalu mengejar ambisi karier.
Tren ini terlihat dari berbagai diskusi di media sosial, khususnya di TikTok, di mana banyak perempuan muda berbagi alasan mereka memilih untuk tidak mengambil tanggung jawab lebih besar di tempat kerja.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini akan menghambat kesetaraan gender, atau justru akan mendorong organisasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik?
Untuk memahami lebih jauh mengenai fenomena tersebut dan membandingkannya dengan apa yang terjadi di Indonesia, simak informasinya seperti melansir dari Psychology Today di bawah ini!
Fenomena "Stay-at-Home Girlfriend" dan "Lazy Girl Jobs"
Kala itu, muncul tren gaya hidup seperti "stay-at-home girlfriend" dan "lazy girl jobs" yang semakin populer di kalangan perempuan muda Amerika Serikat (AS).
Gaya hidup ini menekankan pentingnya perawatan diri dan keseimbangan hidup, serta mengurangi tekanan untuk meraih status tinggi di dunia kerja.
Meski demikian, bagi sebagian orang, mempromosikan gaya hidup ini di media sosial bisa menjadi jalan untuk mendapatkan penghasilan melalui kerja sama dengan merek atau bahkan membangun bisnis.
Leah Sheppard, Ph.D., seorang profesor di Carson College of Business di Washington State University, menjelaskan, tren ini memunculkan kekhawatiran akan potensi kemunduran dalam perjuangan kesetaraan gender.
Baca Juga: Agar Produktif, Rupanya Ini yang Dibutuhkan Pekerja Gen Z dari Perusahaan
Namun, di sisi lain, data menunjukkan bahwa kesenjangan upah gender di beberapa negara maju saat ini berada pada titik terendah sepanjang sejarah. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
"Tren ini membuat saya bertanya-tanya apakah kita kehilangan arah dalam perjuangan untuk kesetaraan gender," papar Leah Sheppard.
"Menurut perkiraan saya, ada beberapa hal yang berbeda yang tampaknya terjadi. Pertama, Gen Z tampaknya secara umum skeptis tentang impian Amerika yang semakin sulit dicapai setiap generasi," imbuhnya.
"Variasi umum dari impian itu adalah lulus kuliah dengan pekerjaan dengan gaji yang baik, dihargai atas kerja keras dengan lebih banyak uang, status, dan pengakuan, dan mampu membeli rumah dalam waktu dekat," ujarnya lagi.
Skeptisisme Terhadap Mimpi Karier Ideal
Berdasarkan penjelasan Leah Sheppard di atas, barangkali bisa dibilang ada kesamaan antara perempuan Gen Z di AS dengan di Indonesia yang tumbuh di tengah realitas yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Mimpi untuk menyelesaikan pendidikan, mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, lalu mampu membeli rumah—semakin sulit terwujud.
Banyak dari mereka merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak memberikan makna, otonomi, atau fleksibilitas.
Harga properti yang terus meningkat juga membuat kepemilikan rumah menjadi impian yang sulit dicapai bagi banyak generasi muda.
Baca Juga: Beda dari Generasi Sebelumnya, Ini 3 Karakteristik Gen Z di Dunia Kerja
Dengan situasi seperti ini, mudah dipahami mengapa sebagian Gen Z memilih untuk mengurangi upaya di tempat kerja dan lebih fokus pada aktivitas yang memberikan kebahagiaan dan makna pribadi.
Di Indonesia, tren ini bisa terlihat dari meningkatnya minat terhadap pekerjaan fleksibel dan gaya hidup minimalis.
Apakah Ini Perlu Dikhawatirkan?
Menanggapi tren ini, ada dua sudut pandang. Sebagai akademisi di bidang gender, Leah Sheppard berpendapat bahwa kita sudah cukup banyak mendorong perempuan untuk memasuki profesi yang kurang terwakili oleh mereka karena didominasi oleh laki-laki.
Perhatian kini sebaiknya dialihkan pada upaya mengurangi stigma terhadap laki-laki yang ingin menempuh karier di bidang yang didominasi perempuan.
Namun, dari perspektif perilaku organisasi, ada alasan bagi para pemimpin bisnis di Indonesia untuk khawatir.
Dunia korporasi mesti lebih maksimal dalam berusaha menginspirasi kerja keras dan komitmen di kalangan karyawan muda. Tanpa hal-hal tersebut, masa depan dunia usaha bisa suram.
Selain itu, perusahaan yang berupaya meningkatkan representasi perempuan di posisi kepemimpinan mungkin akan kesulitan menemukan perempuan muda yang bersedia mengambil peran tersebut.
Solusi: Menciptakan Lingkungan Kerja yang Lebih Baik
Baca Juga: Apa Itu Digital Native? Istilah yang Melekat pada Gen Z di Dunia Kerja
Untuk mengatasi masalah ini, pemimpin bisnis perlu mulai dengan dasar-dasar pengayaan pekerjaan: memberikan otonomi, value, variasi tugas, dan umpan balik.
- Otonomi: Karyawan sebaiknya diberi kebebasan dalam mengatur cara mereka bekerja dan mencapai tujuan.
Jika memungkinkan, perusahaan bisa melonggarkan aturan jam kerja 9 to 5 dan memberikan fleksibilitas selama target tercapai dan mereka hadir dalam pertemuan penting.
- Value: Karyawan perlu memahami pentingnya peran mereka dalam tujuan besar organisasi.
Mereka juga perlu diberi kesempatan untuk belajar tentang dampak pekerjaan mereka.
- Variasi Tugas: Pekerjaan yang monoton perlu dihindari. Jika tidak memungkinkan, rotasi tugas bisa dilakukan untuk mengurangi kebosanan.
- Umpan Balik: Karyawan membutuhkan umpan balik yang teratur, tepat waktu, dan spesifik agar mereka bisa terus berkembang dan melihat jalur karier yang jelas.
Jika generasi sebelumnya mungkin bersedia bertahan dalam kondisi kerja yang kurang ideal, tampaknya perempuan Gen Z di Indonesia tidak akan demikian.
Perempuan muda masa kini menginginkan lingkungan kerja yang tidak diskriminatif dan memungkinkan mereka berkembang mencapai potensi maksimal yang diharapkan.
Baca Juga: Cara Mudah Gen Z Menjelaskan ke Orang Tua Tentang Pekerjaan Zaman Now
(*)