Institut Kedokteran dan Ilmu Forensik serta Institut Nasional Toksikologi dan Ilmu Forensik (INTCF) juga memainkan peranan penting.
Selain itu, kontribusi terbaru dari Kementerian Kehakiman berupa "Panduan Praktik Baik untuk prosedur forensik dalam kasus korban kejahatan yang difasilitasi oleh zat psikoaktif: intervensi dalam kasus dugaan chemical submission", serta pengembangan dan distribusi kit pengambilan sampel untuk analisis toksikologi pada kasus yang dicurigai sebagai CS sangat menonjol.
Temuan Toksikologi dan Tantangan Pembuktian Hukum
Laporan tahun 2021 dari INTCF tentang "Temuan Toksikologi dalam kekerasan seksual dengan dugaan chemical submission" menyebutkan adanya 950 kasus kejahatan seksual yang diinvestigasi secara yudisial.
Studi ini menunjukkan tingginya prevalensi alkohol, obat-obatan terlarang, dan obat psikoaktif dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan (93,4 persen), di mana 82,5 persen kasus menunjukkan hasil positif dari total kasus yang dicurigai sebagai CS.
Baca Juga: Mengungkap Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Menurut Survei
Meskipun berbagai komunitas ilmiah sepakat bahwa urin adalah sampel terbaik untuk digunakan karena menawarkan jangka waktu deteksi yang lebih lama, laporan INTCF menyebutkan lebih banyak sampel darah yang dikirimkan (823 sampel darah dibandingkan dengan 729 sampel urin).
Perlunya pengumpulan sampel ini harus ditekankan secara luas, mengingat hampir semua korban masih hidup.
Namun, banyak berkas kasus kekerasan seksual yang menggunakan CS akhirnya ditutup karena kurangnya bukti di pengadilan.
Ketika korban dan tersangka hanya memberikan keterangan lisan mengenai kejadian, pihak berwenang sering kali menolak gugatan jika tidak ada bukti lain atau saksi.