Parapuan.co - Nama Caroline Darian, putri dari Gisele Pelicot belakangan mencuri perhatian.
Salah satu alasannya ialah Caroline Darian berani membahas tentang tindakan kekerasan seksual ayahnya, Dominique Pelicot terhadap sang ibu.
Caroline mengungkapkan cerita hidup dan traumanya terkait tindakank Dominique, serta menyinggung tentang chemical submission dalam bukunya berjudul "I'll Never Call Him Dad Again".
Apa itu chemical submission yang disinggung oleh putri Gisele Pelicot? Simak penjelasannya sebagaimana merangkum Elsevier berikut ini!
Mengenal Chemical Submission
Chemical submission (CS) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada kejahatan yang difasilitasi oleh zat psikoaktif.
Mayoritas kejahatan yang terkait dengan CS melibatkan kekerasan seksual, perampokan, pemerasan, serta penganiayaan yang disengaja terhadap individu lanjut usia, penderita gangguan mental, atau anak di bawah umur.
Fenomena ini menjadi tantangan nyata bagi masyarakat umum dan Ilmu Forensik khususnya, karena pentingnya aspek hukum yang terlibat.
Kasus yang berkaitan dengan CS sering kali menarik perhatian media, yang memiliki dampak positif dalam meningkatkan kesadaran publik bahwa kekerasan seksual tetap merupakan tindak pidana, meskipun korban secara sukarela mengonsumsi zat beracun yang membuat mereka lebih rentan.
Baca Juga: Memahami Pentingnya Persetujuan Seksual dari Kasus Pemerkosaan Viral Gisele Pelicot
Namun, pemberitaan media tentang jenis kejahatan ini tidak selalu sesuai dengan ketelitian ilmiah yang diperlukan, sehingga menimbulkan disinformasi dan kepercayaan yang keliru yang memicu ketakutan di masyarakat.
Salah satu contohnya adalah penggunaan burundanga yang dianggap berlebihan dalam kejahatan yang terkait dengan CS, meskipun temuan kimia toksikologi di laboratorium forensik tidak mendukung hal ini.
Peran Ilmu Forensik dalam Penanganan Chemical Submission
Dalam konteks forensik, kontribusi dari Revista Española de Medicina Legal sangat penting dalam menyebarkan pengetahuan ilmiah tentang fenomena CS.
Institut Kedokteran dan Ilmu Forensik serta Institut Nasional Toksikologi dan Ilmu Forensik (INTCF) juga memainkan peranan penting.
Selain itu, kontribusi terbaru dari Kementerian Kehakiman berupa "Panduan Praktik Baik untuk prosedur forensik dalam kasus korban kejahatan yang difasilitasi oleh zat psikoaktif: intervensi dalam kasus dugaan chemical submission", serta pengembangan dan distribusi kit pengambilan sampel untuk analisis toksikologi pada kasus yang dicurigai sebagai CS sangat menonjol.
Temuan Toksikologi dan Tantangan Pembuktian Hukum
Laporan tahun 2021 dari INTCF tentang "Temuan Toksikologi dalam kekerasan seksual dengan dugaan chemical submission" menyebutkan adanya 950 kasus kejahatan seksual yang diinvestigasi secara yudisial.
Studi ini menunjukkan tingginya prevalensi alkohol, obat-obatan terlarang, dan obat psikoaktif dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan (93,4 persen), di mana 82,5 persen kasus menunjukkan hasil positif dari total kasus yang dicurigai sebagai CS.
Baca Juga: Mengungkap Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Menurut Survei
Meskipun berbagai komunitas ilmiah sepakat bahwa urin adalah sampel terbaik untuk digunakan karena menawarkan jangka waktu deteksi yang lebih lama, laporan INTCF menyebutkan lebih banyak sampel darah yang dikirimkan (823 sampel darah dibandingkan dengan 729 sampel urin).
Perlunya pengumpulan sampel ini harus ditekankan secara luas, mengingat hampir semua korban masih hidup.
Namun, banyak berkas kasus kekerasan seksual yang menggunakan CS akhirnya ditutup karena kurangnya bukti di pengadilan.
Ketika korban dan tersangka hanya memberikan keterangan lisan mengenai kejadian, pihak berwenang sering kali menolak gugatan jika tidak ada bukti lain atau saksi.
Hal ini terutama karena analisis DNA dan toksikologi tidak dianggap cukup untuk mendukung pernyataan korban atau tersangka.
Kesulitan dalam Mengungkap Kasus Chemical Submission
Masih sulit untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang banyak aspek dari chemical submission.
Meskipun terdapat kekurangan besar dalam jumlah laporan kasus kekerasan seksual akibat tingginya persentase kasus yang tidak dilaporkan, situasi ini diperkirakan jauh lebih buruk dalam kasus kejahatan yang melibatkan penganiayaan terhadap lansia, individu dengan gangguan mental, atau anak-anak.
Ketidakmampuan kelompok ini untuk pertama-tama mengenali dan kemudian melaporkan kejahatan yang melibatkan CS menunjukkan adanya defisit besar dalam cara kasus tersebut diidentifikasi dan dibawa ke pengadilan.
Baca Juga: Kelanjutan Kasus Pemerkosaan Lansia di Prancis, Mantan Suami Gisele Pelicot Dipenjara 20 Tahun
Peran Laboratorium Toksikologi dalam Kasus Chemical Submission
Laboratorium toksikologi harus memiliki metode yang divalidasi untuk mendeteksi zat yang mungkin terlibat dalam kasus CS.
Hal ini memerlukan penggunaan metodologi yang memungkinkan penyaringan toksikologi secara luas terhadap zat-zat, bahkan ketika zat-zat tersebut berada pada konsentrasi rendah.
Jelas bahwa dalam studi toksikologi jenis ini, konsentrasi rendah zat yang ditemukan dalam darah atau urin bisa relevan karena adanya jeda waktu antara kejadian dan pengambilan sampel.
Ketika menafsirkan temuan ini, penting bagi laboratorium yang menerima kasus CS untuk memiliki informasi yang seakurat mungkin mengenai waktu yang berlalu setelah kejadian hingga pengambilan sampel, serta obat-obatan yang mungkin diterima korban.
Hukum mengakui peran zat psikoaktif dalam kejahatan kekerasan seksual.
Baik dikonsumsi secara sukarela maupun tidak oleh korban, zat-zat ini dapat secara langsung memengaruhi kemampuan korban untuk memberikan persetujuan, yang merupakan aspek kunci dari penerapan undang-undang terkait kekerasan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan menggunakan obat-obatan tertentu.
Belajar dari kasus yang dialami Gisele Pelicot, semoga saja masyarakat, penegak hukum, pembuat kebijakan, dan sebagainya mulai menyadari bahwa chemical submission harus mendapatkan perhatian.
Baca Juga: LPSK Sebut Permohonan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Meningkat, Termasuk Kasus Agus
(*)