Parapuan.co - Miris, pasangan suami istri di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, tega membunuh anaknya.
AZR (19) dan SD (22), melakukan aksi keji ini pada anak laki-lakinya yang diperkirakan berusia lima tahun.
Jasad korban ditemukan terbungkus sarung di sebuah ruko kosong di Jalan Inspeksi Kalimalang, Tambun Selatan pada Senin (6/1/2024) lalu.
Diketahui, kedua pelaku bekerja sebagai pengamen. Keduanya juga mencari uang dengan membersihkan kaca mobil di lampu merah jalanan.
Kanit Reskrim Polsek Tambun Selatan, AKP Kukuh juga membenarkan penemuan jasad anak kecil ini.
"Benar (korban pembunuhan). Iya betul (dibunuh orang tuanya)," ujar Kukuh dikutip dari Kompas.com.
Berdasarkan pemeriksaan kepolisian, terdapat sejumlah luka-luka di tubuh korban.
Luka-luka ini antara lain, lecet di pipi sebelah kiri, memar di kuping sebelah kiri, serta luka seperti sundutan rokok di bagian pantat, pipi, dan kaki.
Selain itu, terdapat benjolan di bagian kepala tengah dan belakang, serta luka lebam di sekitar pinggang atas sebelah kanan.
Baca Juga: Penganiayaan Anak Bos Toko Roti, Kenapa Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Lambat Ditangani?
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pastikan Proses Hukum untuk Pelaku
Arifah Fauzi, selaku Menteri PPPA menyebut bahwa kasus pembunuhan ini merupakan satu dari ribuan kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia.
Bukan itu saja, Arifah juga menyebut jika aksi kekerasan dan pembunuhan ini menjadi pengingat bahwa tugas kita sebagai pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkan lingkungan yang aman bagi anak masih belum usai.
"Kami tentu sangat prihatin dan berduka cita atas meninggalnya anak korban di tangan orang tua kandungnya. Apapun alasan dan kondisinya sangat tidak dibenarkan orang tua yang semestinya memberikan perlindungan bagi anak malah menyiksa dan mengakhiri hidup anaknya sendiri," imbuhnya.
"Terkait penanganan kasus ini, Kemen PPPA terus berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Bekasi dan Polda Metro Jaya untuk mengawal proses penanganan kasus agar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku," imbuhnya.
Menteri PPPA mengatakan fungsi keluarga sebagai komunitas terdekat anak untuk memberikan perlindungan kepada anak dari segala bentuk kekerasan masih perlu ditingkatkan.
Salah satu faktor yang mungkin dapat menjadi penyebab belum optimalnya peran keluarga dalam perlindungan anak, yaitu situasi rentan yang dihadapi keluarga, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun budaya sehingga dapat menimbulkan kompleksitas, tekanan, dan perilaku berisiko pada orang tua yang berdampak negaif bagi anak.
Selain itu, ketimpangan relasi kuasa di dalam keluarga, khususnya antara orang tua dan anak, juga dapat menjadi faktor lain terjadinya kekerasan terhadap anak.
Baca Juga: Cegah Kejahatan Seksual pada Anak, 5 Bagian Tubuh Ini Tak Boleh Disentuh Orang Asing
"Oleh karena itu, kami mengingatkan kepada seluruh masyarakat, khususnya para orang tua untuk senantiasa mengupayakan pengasuhan dan komunikasi yang positif dan terbuka antar keluarga, baik antara orangtua dengan anak maupun antar pasangan," ujar Arifah Fauzi.
Lebih lanjut, Arifah juga menyoroti kesiapan orang tua untuk menerima kehadiran anak dalam kehidupan mereka juga menjadi landasan penting sehingga nantinya dapat memberikan pengasuhan yang baik bagi anak dalam keluarga.
Jerat Hukum untuk Pelaku
Kedua tersangka yang melakukan kekerasan pada anak ini dijerat pasal berlapis.
1. Pasal 80 Ayat (3) dan/atau Ayat (4) jo. 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Adapun dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan dapat ditambah sepertiga karena yang melakukan orang tua.
2. Selain dalam UU Perlindungan Anak, para tersangka juga diduga telah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap seseorang yang dilakukan secara bersama-sama yang dapat dikenakan hukuman sesuai Pasal 170 Ayat (2) Angka 3 KUHP.
Adapun ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun.
3. Pasal 51 Ayat (3) KUHP terkait tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Baca Juga: Upaya Polri Cegah Viktimisasi Perempuan dan Anak di Ranah Hukum
(*)