Parapuan.co - Kawan Puan, setiap orang tua pasti pernah merasa marah kepada anak mereka. Marah itu emosi yang wajar dirasakan manusia.
Terkadang, kemarahan datang begitu cepat, terutama ketika tekanan hidup yang tak ada habisnya mulai menumpuk.
Di tengah stres ini, anak kita datang dengan berbagai alasan, seperti minta ditemani makan, kehilangan sepatu, tiba-tiba ingat harus membeli buku catatan baru untuk sekolah, dan sebagainya. Saat itulah kemarahan bisa meledak.
Namun, ketika kita tenang sejenak, kita tahu bahwa tantangan dalam mengasuh anak bisa dihadapi dengan lebih baik jika kita dalam keadaan tenang.
Sayangnya, di tengah amarah, kita merasa berhak atas perasaan tersebut. Bagaimana bisa anak kita begitu ceroboh, tidak pengertian, atau bahkan jahat?
Tapi, meskipun perilaku anak kita mungkin membuat kita kesal, sebenarnya bukan perilaku tersebut yang memicu reaksi marah kita.
Kita sering kali menghubungkan perilaku anak dengan kesimpulan-kesimpulan yang membuat kita merasa takut, cemas, atau bersalah—yang akhirnya mendorong kita untuk melampiaskan kemarahan.
Kita perlu menyadari bahwa perasaan marah yang kita rasakan sering kali berakar dari masa kecil kita sendiri.
Anak-anak kita memunculkan luka-luka lama yang tersembunyi dalam diri kita, dan reaksi kita terhadap mereka sering kali merupakan gambaran dari perasaan kita yang belum selesai pada masa lalu.
Baca Juga: Belajar Tenang dari Jennifer Bachdim, Akui Tak Pernah Marah pada Anak-anaknya