Baca Juga: Poligami: The Uncovered, Menguak Aturan Poligami dan Posisi Perempuan
Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, poligami pernah diterima di masa lalu, seperti yang terlihat dalam kisah tokoh-tokoh Alkitab seperti Abraham dan Daud.
Namun, sejak Abad Pertengahan, praktik ini ditinggalkan dan dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.
Meski begitu, beberapa sekte Kristen, termasuk kelompok Mormon di Amerika Serikat hingga akhir 1800-an, sempat mempraktikkan poligami.
Hukum dan Pengaturan Poligami
Poligami dilarang di banyak negara, termasuk seluruh negara bagian di Amerika Serikat, di mana memiliki lebih dari satu pasangan secara sah dianggap ilegal.
Namun, beberapa wilayah seperti Utah telah melonggarkan hukuman terhadap individu yang secara sukarela hidup dalam hubungan poligami tanpa menikah secara resmi.
Di negara-negara di mana poligami legal, aturan biasanya mencakup perlindungan hak perempuan.
Di Burkina Faso, misalnya, sebuah pernikahan harus disepakati sebagai poligami sejak awal agar seorang suami dapat menikahi istri lain di masa depan.
Di Djibouti, pengadilan bahkan mencatat pendapat istri pertama sebelum mengizinkan pernikahan baru.
Baca Juga: ASN Jakarta Boleh Poligami: Apakah Perempuan Dianggap Tak Punya Value hingga Harus Rela Dimadu?
Kontroversi Moral
Pandangan moral terhadap poligami sangat bervariasi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, survei Gallup menunjukkan bahwa hanya 20 persen orang dewasa yang menganggap poligami dapat diterima secara moral, meskipun angka ini meningkat dari 7 persen pada tahun 2003.
Secara global, mayoritas Muslim di Afrika Sub-Sahara mendukung poligami, sementara Muslim di Asia Tengah serta Eropa Timur dan Selatan cenderung menolaknya.
Poligami sering kali dikritik karena dianggap melanggar martabat perempuan.
Komite Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa poligami bertentangan dengan kesetaraan gender dan menyerukan penghapusan praktik ini di seluruh dunia.
Jadi, bisa dipahami bahwa poligami merupakan fenomena sosial yang jarang tetapi signifikan di beberapa wilayah.
Praktik ini dipengaruhi oleh faktor agama, budaya, dan sejarah, serta diatur dengan cara yang berbeda di setiap negara.
Sebagian kecil masyarakat menganggap poligami dapat diterima, tetap banyak lainnya yang memandangnya sebagai pelanggaran terhadap kesetaraan dan hak-hak perempuan.
Baca Juga: Jangan Salah Kaprah tentang 'Izin' Agama, Perempuan Berdaya Perlu Menentang Poligami
(*)