"Bisa berisiko gangguan kesehatan mental. Kecemasan, depresi, atau stres kronis dapat berkembang jika istri pertama merasa terabaikan atau tidak diprioritaskan," tegasnya.
Dengan adanya Pergub Jakarta tentang ASN yang diperbolehkan poligami, penulis berharap pemerintah mengkaji ulang atau bahkan menghapus aturan tersebut.
Apalagi sejumlah syarat yang harus dipenuhi ASN untuk poligami cukup merendahkan perempuan, salah satunya ketika istri tidak bisa memberikan keturunan dalam waktu 10 tahun.
Syarat tersebut seakan menunjukkan perempuan hanya sebagai 'pabrik' untuk bereproduksi.
Bukan itu saja, mereka menilai perempuan hanya berdasarkan kemampuan reproduksinya saja.
Menurut penulis, praktik poligami menghambat upaya pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.
Hal ini lantaran laki-laki atau suami seakan lebih mendominasi dalam memberikan keputusan dalam berbagai aspek.
Sementara, perempuan merasa terjebak dalam peran domestik dan tidak memiliki kebebasan yang sama.
Baca Juga: Jangan Salah Kaprah tentang 'Izin' Agama, Perempuan Berdaya Perlu Menentang Poligami
(*)