Parapuan.co - Masyarakat Indonesia, terutama perempuan, saat ini tengah menyoroti isu poligami.
Hal ini berawal ketika penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 tentang tata cara pemberian izin perkawinan dan perceraian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Poligami adalah suatu keputusan seorang suami untuk memiliki istri lebih dari satu.
Hubungan ini memang diperbolehkan agama, namun dengan catatan mendapatkan izin dari istri pertama dan menjamin dapat berlaku adil.
Sementara jika dilihat dari kacamata psikologis, poligami yang dilakukan suami bukan tidak mungkin berdampak pada istri.
Pada situasi tertentu, poligami bisa memicu masalah psikologis yang lebih parah, termasuk gangguan mental.
Bukan itu saja, penulis juga menilai bahwa poligami tidak mencerminkan pemberdayaan perempuan yang saat ini sudah banyak dikampanyekan.
Perempuan seakan dipaksa untuk berbagi apa yang mereka miliki dengan orang lain karena alasan agama.
Bukan hanya berbagi secara fisik, tetapi juga berbagi waktu, perasaan, dan aktivitas biologis.
Baca Juga: Awas! Poligami yang Dilakukan Ayah Berdampak pada Psikologis Anak
Lantas, seperti apa dampak psikologis poligami pada istri?
Ratih Ibrahim, M.M seorang psikolog klinis keluarga, parenting, pasangan, dan orang dewasa menyebut bahwa kondisi poligami seringkali membuat istri pertama menghadapi tantangan emosional yang signifikan.
Bisa dibilang, kondisi psikologis istri pertama tentu saja dapat terganggu jika seorang suami yang disayanginya berbagi kasih sayang dengan perempuan lain.
Ratih Ibrahim juga menambahkan akan ada perasaan tidak cukup baik atau rendah diri yang dirasakan istri pertama.
"Istri pertama dapat merasakan kurang dihargai atau dianggap tidak memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis pasangan," ujar Ratih Ibrahim dikutip dari Kompas.com.
Sekalipun izin poligami sudah diberikan, kamu sebagai istri pertama mungkin masih dibayangi rasa cemburu dan perasaan tersebut adalah hal wajar.
"Perasaan ini wajar muncul, terutama jika perhatian pasangan menjadi terbagi," imbuhnya.
Lebih dalam lagi, ketika suami tidak bisa berlaku adil, istri pertama bisa berisiko mengalami gangguan mental.
Baca Juga: Poligami: Sebuah Pelanggaran terhadap Kesetaraan dan Hak-Hak Perempuan
"Bisa berisiko gangguan kesehatan mental. Kecemasan, depresi, atau stres kronis dapat berkembang jika istri pertama merasa terabaikan atau tidak diprioritaskan," tegasnya.
Dengan adanya Pergub Jakarta tentang ASN yang diperbolehkan poligami, penulis berharap pemerintah mengkaji ulang atau bahkan menghapus aturan tersebut.
Apalagi sejumlah syarat yang harus dipenuhi ASN untuk poligami cukup merendahkan perempuan, salah satunya ketika istri tidak bisa memberikan keturunan dalam waktu 10 tahun.
Syarat tersebut seakan menunjukkan perempuan hanya sebagai 'pabrik' untuk bereproduksi.
Bukan itu saja, mereka menilai perempuan hanya berdasarkan kemampuan reproduksinya saja.
Menurut penulis, praktik poligami menghambat upaya pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.
Hal ini lantaran laki-laki atau suami seakan lebih mendominasi dalam memberikan keputusan dalam berbagai aspek.
Sementara, perempuan merasa terjebak dalam peran domestik dan tidak memiliki kebebasan yang sama.
Baca Juga: Jangan Salah Kaprah tentang 'Izin' Agama, Perempuan Berdaya Perlu Menentang Poligami
(*)