Parapuan.co - Kawan Puan, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) akhirnya menyatakan sikap terhadap Peraturan Gubernur Jakarta No. 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian (Pergub Jakarta 2/2025) yang tengah menjadi sorotan publik.
Seperti yang barangkali sudah kamu tahu, Peraturan Gubernur Jakarta tersebut termasuk memperbolehkan poligami untuk Aparatur Sipil Negara (ASN).
Komnas Perempuan menyoroti isu-isu berikut sebagaimana dikutip dari laman resmi:
1. Relevansi UU Perkawinan yang Sudah Usang
Pergub ini menggarisbawahi perlunya revisi UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang telah berlaku selama lima dekade, terutama untuk memperketat aturan terkait poligami.
Meskipun asas perkawinan di Indonesia bersifat monogami, UU ini memberikan ruang bagi laki-laki untuk beristri lebih dari satu dengan syarat dan prosedur tertentu.
2. Poin-Poin Diskriminatif dalam Pergub 2/2025
Pergub tersebut mengizinkan poligami dengan alasan yang diskriminatif, seperti istri tidak mampu menjalankan kewajiban, memiliki cacat tubuh, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, atau tidak dapat memiliki keturunan.
- Komnas Perempuan mencatat:
- Alasan istri tidak mampu menjalankan kewajiban bersifat subjektif dan sering kali mencerminkan budaya patriarki yang menempatkan perempuan dalam peran subordinat.
Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender
- Ketidakmampuan melahirkan mempertegas posisi perempuan sebagai subordinat yang dinilai berdasarkan kemampuan reproduksi.
- Alasan cacat tubuh mencerminkan diskriminasi berbasis kemampuan terhadap perempuan penyandang disabilitas.
3. Kekerasan dalam Rumah Tangga Akibat Poligami
Praktik poligami sering kali memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik dalam bentuk kekerasan psikologis, ekonomi, maupun penelantaran.
Data menunjukkan separuh dari 3.079 kasus KDRT yang dilaporkan sejak 2004 adalah kekerasan psikis, dengan 16% berupa kekerasan ekonomi.
Pada 2023, Badan Peradilan Agama mencatat 701 kasus perceraian terkait poligami.
4. Praktik Tidak Prosedural dan Implikasi Hukum
Poligami sering dilakukan tanpa izin istri, atasan, atau pengadilan, yang melanggar aturan hukum dan merugikan perempuan.
Komnas Perempuan mendesak penguatan regulasi untuk melindungi perempuan dari diskriminasi dan kekerasan, termasuk dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan UU PKDRT.
Baca Juga: Dua Dekade UU PKDRT: Komnas Perempuan Serukan Penguatan Upaya Perlindungan Korban KDRT
Rekomendasi untuk Revisi dan Implementasi Pergub
Dari keterangan di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan hal-hal di bawah ini:
- Penghapusan alasan diskriminatif dalam aturan poligami.
- Penegasan bahwa izin dari istri dan pengadilan harus bersifat kumulatif.
- Penguatan pengawasan terhadap pelaksanaan hak nafkah bagi istri dan anak akibat perceraian terkait poligami.
- Pelibatan perspektif gender dalam Tim Pertimbangan yang bertugas memastikan keadilan gender dan perlindungan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan menekankan pentingnya menegakkan aturan hukum yang relevan selama revisi UU Perkawinan berlangsung.
Hal ini untuk memastikan perempuan tetap terlindungi dari diskriminasi dan kekerasan.
Baca Juga: Jangan Diam! Ini Bantuan untuk Perempuan Disabilitas yang Alami Kekerasan Seksual
(*)