Baca Juga: Perubahan Iklim dan Ketidaksetaraan Gender Membahayakan Perempuan dan Anak
Sajjad Salem, seorang anggota parlemen independen yang menentang, mengatakan, "Negara Irak tidak pernah menyaksikan kemerosotan dan kerusakan yang mencemari kekayaan dan reputasi Irak seperti yang kita saksikan hari ini."
Sementara itu, Alia Nassif, anggota komite hukum parlemen, menyatakan bahwa pemungutan suara dilakukan tanpa jumlah minimum anggota parlemen yang diperlukan untuk mengesahkan undang-undang.
Ia dan kelompok penentangnya berencana membawa kasus ini ke pengadilan federal Irak.
Seruan untuk Tidak Menyerah
Jurnalis dan aktivis hak perempuan, Benin Elias, menyerukan untuk aktivis, anggota parlemen, dan siapapun yang tidak setuju dengan aturan tersebut untuk tidak menyerah.
"Saya tidak terkejut. Tetapi ini bukan saatnya untuk menangis atau menyerah pada keputusan barbar," ungkap Benin Elias.
Keputusan ini memperlihatkan tantangan besar yang dihadapi oleh perempuan dan anak-anak di Irak.
Legalitas pernikahan anak tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga mengancam masa depan generasi muda, terutama anak perempuan.
Dukungan dan perhatian internasional diperlukan untuk mengadvokasi perlindungan hak-hak mereka.
Baca Juga: Praktik Human Trafficking di Indonesia Menempatkan Perempuan dan Anak Jadi Korban Utama
(*)