Parapuan.co - Kawan Puan, keputusan parlemen Irak yang melegalkan pernikahan anak usia sembilan tahun memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak, termasuk anggota parlemen dan kelompok pejuang hak perempuan.
Aktivis, sebagaimana melansir The Guardian, menyebut undang-undang ini sebagai upaya "melegalkan pemerkosaan terhadap anak".
Undang-undang baru ini memberikan kewenangan kepada otoritas agama untuk mengatur urusan keluarga, termasuk pernikahan, perceraian, dan pengasuhan anak.
Peraturan ini menggantikan larangan pernikahan anak di bawah usia 18 tahun yang telah berlaku sejak tahun 1950-an.
Mohammed Juma, seorang pengacara dan penentang utama undang-undang ini, menyatakan, "Kita sudah mencapai akhir dari hak-hak perempuan dan anak di Irak."
Kekhawatiran terhadap Masa Depan Perempuan
Jurnalis Irak, Saja Hashim, mengungkapkan kekhawatirannya karena ulama kini mempunyai kekuasaan untuk menentukan nasib perempuan di Irak.
"Fakta bahwa ulama memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan nasib perempuan sangat mengerikan. Saya takut dengan apa yang akan terjadi dalam hidup saya sebagai perempuan," kata Saja Hashim.
Aktivis juga mengkhawatirkan dampak hukum ini terhadap kasus-kasus yang diajukan sebelum undang-undang ini diberlakukan, terutama terkait hak tunjangan dan pengasuhan anak.
Baca Juga: Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang Terjadi Sepanjang 2024
Raya Faiq, juru bicara kelompok feminis Coalition 188, menceritakan kisah tragis seorang perempuan yang sangat kecewa sekaligus sedih dengan disahkannya undang-undang baru tersebut.
Raya Faiq mengatakan, "Kami menerima rekaman suara seorang perempuan yang menangis tersedu-sedu karena pengesahan undang-undang ini, sementara suaminya mengancam akan mengambil anak perempuannya jika ia tidak menyerahkan haknya atas tunjangan finansial."
Pernikahan Anak: Masalah yang Sudah Lama Ada
Menurut survei PBB tahun 2023, 28 persen anak perempuan di Irak menikah sebelum usia 18 tahun.
Pernikahan anak sering kali dipromosikan sebagai cara keluar dari kemiskinan, namun banyak yang berakhir dengan kegagalan.
Konsekuensinya mencakup rasa malu sosial, kurangnya peluang pendidikan, dan dampak jangka panjang pada kehidupan perempuan muda.
Alih-alih memperketat aturan pernikahan dini dan membantu anak perempuan dari latar belakang miskin untuk menyelesaikan pendidikan, undang-undang baru ini justru mengizinkan pernikahan anak sesuai dengan aturan agama yang berlaku.
Bagi Muslim Syiah, usia minimal pernikahan bagi anak perempuan adalah sembilan tahun, sedangkan untuk Sunni, usia resmi adalah 15 tahun.
Kritik dari Anggota Parlemen
Baca Juga: Perubahan Iklim dan Ketidaksetaraan Gender Membahayakan Perempuan dan Anak
Sajjad Salem, seorang anggota parlemen independen yang menentang, mengatakan, "Negara Irak tidak pernah menyaksikan kemerosotan dan kerusakan yang mencemari kekayaan dan reputasi Irak seperti yang kita saksikan hari ini."
Sementara itu, Alia Nassif, anggota komite hukum parlemen, menyatakan bahwa pemungutan suara dilakukan tanpa jumlah minimum anggota parlemen yang diperlukan untuk mengesahkan undang-undang.
Ia dan kelompok penentangnya berencana membawa kasus ini ke pengadilan federal Irak.
Seruan untuk Tidak Menyerah
Jurnalis dan aktivis hak perempuan, Benin Elias, menyerukan untuk aktivis, anggota parlemen, dan siapapun yang tidak setuju dengan aturan tersebut untuk tidak menyerah.
"Saya tidak terkejut. Tetapi ini bukan saatnya untuk menangis atau menyerah pada keputusan barbar," ungkap Benin Elias.
Keputusan ini memperlihatkan tantangan besar yang dihadapi oleh perempuan dan anak-anak di Irak.
Legalitas pernikahan anak tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga mengancam masa depan generasi muda, terutama anak perempuan.
Dukungan dan perhatian internasional diperlukan untuk mengadvokasi perlindungan hak-hak mereka.
Baca Juga: Praktik Human Trafficking di Indonesia Menempatkan Perempuan dan Anak Jadi Korban Utama
(*)