Legal di Irak, Pernikahan Anak Tetap Jadi Bentuk Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Anak

Arintha Widya - Kamis, 30 Januari 2025
Pernikahan anak adalah bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Pernikahan anak adalah bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. iStockphoto

Baca Juga: Wamen PPPA Veronica Tan Ingatkan Pernikahan Dini Bisa Sebabkan Gangguan Kesehatan Mental

Meskipun anak laki-laki dan perempuan yang menikah dini menghadapi tantangan yang berbeda karena faktor biologis dan sosial, praktik ini tetap merupakan pelanggaran hak anak bagi keduanya.

Seperti pengantin perempuan anak, pengantin laki-laki anak juga dipaksa untuk mengambil tanggung jawab orang dewasa yang belum siap mereka emban.

Mereka bisa mengalami tekanan ekonomi akibat harus menafkahi keluarga serta terbatasnya akses ke pendidikan dan pengembangan karier.

Secara global, sekitar 115 juta laki-laki dan anak laki-laki menikah sebelum usia 18 tahun.

Negara-negara dengan tingkat pernikahan anak laki-laki tertinggi memiliki karakteristik geografis yang berbeda dari negara-negara dengan tingkat pernikahan anak perempuan tertinggi.

Meskipun jumlah pengantin laki-laki anak lebih sedikit dibanding pengantin perempuan anak, mereka tetap mengalami pelanggaran hak yang mengakhiri masa kanak-kanak mereka lebih awal.

Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami faktor pendorong praktik ini serta dampaknya terhadap anak laki-laki yang menikah dini.

Perlindungan dalam Hukum Internasional

Masalah pernikahan anak telah dibahas dalam berbagai konvensi dan perjanjian internasional.

Baca Juga: Kemenpppa Ungkap Alasan Kuat Menolak Pernikahan Anak di Bawah Usia 19 Tahun

Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) mengatur perlindungan dari pernikahan anak dalam Pasal 16, yang menyatakan bahwa pertunangan dan pernikahan anak tidak memiliki efek hukum, serta diperlukan langkah-langkah, termasuk perundang-undangan, untuk menetapkan usia minimum pernikahan.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia juga menegaskan bahwa persetujuan pernikahan harus 'bebas dan penuh', yang tidak dapat terpenuhi jika salah satu pihak belum cukup dewasa untuk membuat keputusan yang matang.

Selain itu, Konvensi Hak Anak juga mengaitkan pernikahan anak dengan berbagai hak lainnya, seperti kebebasan berekspresi, perlindungan dari segala bentuk kekerasan, serta perlindungan dari praktik tradisional yang membahayakan.

Perjanjian internasional lain yang terkait dengan pernikahan anak mencakup Konvensi tentang Persetujuan Perkawinan, Usia Minimum untuk Perkawinan, serta Piagam Afrika tentang Hak dan Kesejahteraan Anak.

Dengan kata lain, pernikahan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang masih marak terjadi, meskipun terdapat berbagai upaya internasional untuk menghapusnya.

Praktik ini memiliki dampak yang merugikan bagi anak perempuan maupun laki-laki, baik dari segi kesehatan, pendidikan, hingga kesempatan masa depan mereka.

Untuk mencapai target penghapusan pernikahan anak pada 2030, diperlukan percepatan dalam upaya pencegahan dan perlindungan terhadap hak anak-anak di seluruh dunia.

Oleh karenanya, apa yang dilakukan pemerintah Irak dalam melegalkan pernikahan anak hendaknya tidak hanya ditentang oleh aktivis hak asasi manusia, perlindungan anak, dan organisasi/komunitas sejenisnya.

Seluruh dunia perlu menentang hal ini agar anak-anak tetap dapat mengenyam pendidikan dan mewujudkan cita-citanya.

Baca Juga: Dampak Pernikahan Anak di Bawah Umur, Dari Jasmani sampai Psikologis

(*)

Sumber: UNICEF
Penulis:
Editor: Arintha Widya


REKOMENDASI HARI INI

Legal di Irak, Pernikahan Anak Tetap Jadi Bentuk Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Anak