Parapuan.co - Kawan Puan, hampir di seluruh dunia terdapat peraturan terkait pernikahan sebelum usia 18 tahun.
Pernikahan di bawah usia tersebut bahkan dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar.
Namun, hal itu tampaknya tidak diindahkan oleh Pemerintah Irak yang belum lama ini mengesahkan peraturan yang membolehkan pernikahan anak.
Banyak faktor yang berkontribusi pada risiko anak untuk menikah, termasuk kemiskinan, anggapan bahwa pernikahan memberikan 'perlindungan', kehormatan keluarga, norma sosial, hukum adat atau agama yang membenarkan praktik ini, kerangka hukum yang tidak memadai, serta sistem pencatatan sipil suatu negara.
Meski lebih sering terjadi pada anak perempuan, pernikahan anak tetap merupakan pelanggaran hak, tanpa memandang jenis kelamin.
Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Children's Fund (UNICEF), mencatat adanya pelanggaran dalam pernikahan anak yang mestinya tidak diabaikan.
Prevalensi Pernikahan Anak Perempuan di Dunia
Secara global, pernikahan anak paling banyak terjadi di Afrika Barat dan Afrika Tengah, di mana hampir 4 dari 10 perempuan menikah sebelum usia 18 tahun.
Angka lebih rendah ditemukan di Afrika Timur dan Selatan (32 persen), Asia Selatan (28 persen), serta Amerika Latin dan Karibia (21 persen).
Baca Juga: Cegah Pernikahan Dini, Ini Bahayanya Bagi Kesehatan Ibu dan Anak
Tingkat pernikahan anak terus menurun secara global, dengan kemajuan terbesar dalam dekade terakhir terlihat di Asia Selatan.
Risiko anak perempuan untuk menikah dini di kawasan ini menurun lebih dari sepertiga, dari hampir 50 persen menjadi di bawah 30 persen.
Namun, angka anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun masih mencapai 12 juta per tahun.
Jika laju penurunan tidak dipercepat, lebih dari 100 juta anak perempuan diperkirakan akan menikah sebelum ulang tahun ke-18 mereka pada tahun 2030, yang menjadi target penghapusan praktik ini dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Dampak Pernikahan Anak
Pernikahan anak dapat menghambat perkembangan anak perempuan dengan menyebabkan kehamilan dini, isolasi sosial, putus sekolah, serta terbatasnya peluang untuk berkarier atau mengembangkan keterampilan.
Selain itu, mereka juga berisiko mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Sementara dampak pernikahan terhadap anak laki-laki belum banyak diteliti, mereka juga dapat menghadapi tekanan ekonomi, tanggung jawab yang belum siap dijalankan, serta terhambatnya kesempatan pendidikan dan karier.
Pernikahan Anak Laki-Laki: Fenomena yang Kurang Diperhatikan
Baca Juga: Wamen PPPA Veronica Tan Ingatkan Pernikahan Dini Bisa Sebabkan Gangguan Kesehatan Mental
Meskipun anak laki-laki dan perempuan yang menikah dini menghadapi tantangan yang berbeda karena faktor biologis dan sosial, praktik ini tetap merupakan pelanggaran hak anak bagi keduanya.
Seperti pengantin perempuan anak, pengantin laki-laki anak juga dipaksa untuk mengambil tanggung jawab orang dewasa yang belum siap mereka emban.
Mereka bisa mengalami tekanan ekonomi akibat harus menafkahi keluarga serta terbatasnya akses ke pendidikan dan pengembangan karier.
Secara global, sekitar 115 juta laki-laki dan anak laki-laki menikah sebelum usia 18 tahun.
Negara-negara dengan tingkat pernikahan anak laki-laki tertinggi memiliki karakteristik geografis yang berbeda dari negara-negara dengan tingkat pernikahan anak perempuan tertinggi.
Meskipun jumlah pengantin laki-laki anak lebih sedikit dibanding pengantin perempuan anak, mereka tetap mengalami pelanggaran hak yang mengakhiri masa kanak-kanak mereka lebih awal.
Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami faktor pendorong praktik ini serta dampaknya terhadap anak laki-laki yang menikah dini.
Perlindungan dalam Hukum Internasional
Masalah pernikahan anak telah dibahas dalam berbagai konvensi dan perjanjian internasional.
Baca Juga: Kemenpppa Ungkap Alasan Kuat Menolak Pernikahan Anak di Bawah Usia 19 Tahun
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) mengatur perlindungan dari pernikahan anak dalam Pasal 16, yang menyatakan bahwa pertunangan dan pernikahan anak tidak memiliki efek hukum, serta diperlukan langkah-langkah, termasuk perundang-undangan, untuk menetapkan usia minimum pernikahan.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia juga menegaskan bahwa persetujuan pernikahan harus 'bebas dan penuh', yang tidak dapat terpenuhi jika salah satu pihak belum cukup dewasa untuk membuat keputusan yang matang.
Selain itu, Konvensi Hak Anak juga mengaitkan pernikahan anak dengan berbagai hak lainnya, seperti kebebasan berekspresi, perlindungan dari segala bentuk kekerasan, serta perlindungan dari praktik tradisional yang membahayakan.
Perjanjian internasional lain yang terkait dengan pernikahan anak mencakup Konvensi tentang Persetujuan Perkawinan, Usia Minimum untuk Perkawinan, serta Piagam Afrika tentang Hak dan Kesejahteraan Anak.
Dengan kata lain, pernikahan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang masih marak terjadi, meskipun terdapat berbagai upaya internasional untuk menghapusnya.
Praktik ini memiliki dampak yang merugikan bagi anak perempuan maupun laki-laki, baik dari segi kesehatan, pendidikan, hingga kesempatan masa depan mereka.
Untuk mencapai target penghapusan pernikahan anak pada 2030, diperlukan percepatan dalam upaya pencegahan dan perlindungan terhadap hak anak-anak di seluruh dunia.
Oleh karenanya, apa yang dilakukan pemerintah Irak dalam melegalkan pernikahan anak hendaknya tidak hanya ditentang oleh aktivis hak asasi manusia, perlindungan anak, dan organisasi/komunitas sejenisnya.
Seluruh dunia perlu menentang hal ini agar anak-anak tetap dapat mengenyam pendidikan dan mewujudkan cita-citanya.
Baca Juga: Dampak Pernikahan Anak di Bawah Umur, Dari Jasmani sampai Psikologis
(*)