Pernikahan Anak di ASEAN: Ancaman Hak Asasi dan Keterkaitannya dengan Perdagangan Manusia

Arintha Widya - Selasa, 4 Februari 2025
Keterkaitan antara pernikahan anak dengan pelanggaran hak asasi dan perdagangan manusia.
Keterkaitan antara pernikahan anak dengan pelanggaran hak asasi dan perdagangan manusia. filadendron

Parapuan.co - Pernikahan anak ternyata tidak hanya banyak ditemukan di Indonesia, tapi juga negara-negara lain di Asia Tenggara (ASEAN).

Pernikahan anak juga merupakan permasalahan global yang melintasi batas negara, budaya, dan agama.

Praktik ini dikategorikan sebagai bentuk pernikahan paksa karena anak-anak belum memiliki kapasitas hukum untuk memberikan persetujuan.

Meskipun perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak, mereka bukan satu-satunya korban.

Data yang dirangkum PARAPUAN dari The Interpreter milik organisasi Lowy Institute menunjukkan temuan berikut:

  • Terdapat 11 persen perempuan di Vietnam (mayoritas dari etnis Mong), 33 persen perempuan di Laos, dan sekitar 1,2 juta perempuan berusia 20 hingga 24 tahun di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun.
  • Thailand bahkan termasuk dalam 20 negara yang memiliki hukum yang melindungi laki-laki dari tuntutan hukum atas pemerkosaan jika mereka menikahi korban mereka.

Keterkaitan Pernikahan Anak dengan Perdagangan Manusia

Tidak semua kasus pernikahan anak melibatkan perdagangan manusia, tetapi ada keterkaitan yang signifikan di antara keduanya.

Studi menunjukkan bahwa beberapa praktik dalam pernikahan dapat meningkatkan risiko eksploitasi dan perdagangan anak untuk tujuan pernikahan paksa.

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko tersebut meliputi:

Baca Juga: Kemenpppa Ungkap Alasan Kuat Menolak Pernikahan Anak di Bawah Usia 19 Tahun

1. Pembayaran mahar atau praktik mas kawin - Hal ini dapat menyebabkan perempuan dan anak perempuan diperlakukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan.

2. Pernikahan palsu atau penipuan pernikahan - Pernikahan semacam ini sering kali digunakan sebagai modus untuk migrasi ilegal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam situasi eksploitasi.

3. Pernikahan lintas negara - Anak perempuan yang dibawa ke negara lain melalui pernikahan sering kali menjadi terisolasi dan bergantung pada suami mereka, meningkatkan risiko kekerasan dan eksploitasi, termasuk perdagangan manusia.

Identifikasi dan respons terhadap kasus-kasus ini menjadi tantangan besar bagi penegak hukum serta layanan perlindungan korban.

Pernikahan sering kali dianggap sebagai urusan pribadi keluarga, sehingga sulit untuk mendeteksi dan menyelidiki potensi perdagangan manusia dalam kasus pernikahan anak.

Dampak Hukum dan Tantangan Penegakan

Negara-negara di ASEAN dirasa perlu menyusun dan menegakkan undang-undang yang komprehensif untuk mengkriminalisasi pernikahan anak sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.

Namun, efektivitas hukum sangat bergantung pada pemahaman para penegak hukum mengenai keterkaitan antara praktik pernikahan tertentu dengan perdagangan manusia.

Adapun sejumlah tantangan utama yang dihadapi dalam upaya penegakan hukum meliputi:

Baca Juga: Pernikahan Anak Dilegalkan di Irak: Inikah Akhir dari Hak-Hak Perempuan dan Anak?

Korban enggan melapor karena rasa malu, takut akan pembalasan dari pasangan atau keluarganya, kurangnya kepercayaan terhadap polisi dan pihak berwenang, atau kekhawatiran bahwa anak-anak mereka akan diambil alih oleh negara.

Kurangnya akses terhadap layanan dukungan bagi korban, termasuk hambatan bahasa, status imigrasi, dan isolasi sosial.

Adanya celah hukum yang memungkinkan pernikahan anak terus terjadi meskipun ada larangan hukum.

Oleh karena itu, pelatihan bagi penegak hukum serta penghapusan celah hukum menjadi langkah krusial dalam mengatasi pernikahan anak dan perdagangan manusia.

Pendekatan Holistik dalam Pencegahan Pernikahan Anak

Penyelesaian permasalahan pernikahan anak memerlukan pendekatan menyeluruh yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi:

1. Reformasi hukum - Menyusun dan menegakkan undang-undang yang mengkriminalisasi semua bentuk pernikahan anak.

2. Kerja sama lintas negara - Mengembangkan mekanisme kerja sama antarnegara dalam menangani pernikahan paksa dan perdagangan manusia.

Baca Juga: Legal di Irak, Pernikahan Anak Tetap Jadi Bentuk Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Anak

3. Peningkatan kesadaran publik - Kampanye edukasi untuk mengubah norma sosial yang mendukung pernikahan anak.

4. Peningkatan kapasitas penegak hukum dan sistem peradilan - Melatih aparat dalam pendekatan yang sensitif gender dan memahami hubungan antara pernikahan anak dan perdagangan manusia.

5. Pendaftaran kelahiran dan pernikahan yang wajib - Langkah ini dapat membantu memastikan usia anak sebelum menikah dan mencegah pemalsuan data pernikahan.

Upaya ASEAN dalam Menanggulangi Pernikahan Anak

Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (ACWC), dengan dukungan dari program ASEAN–Australia Counter Trafficking (ASEAN-ACT), sejak 2024 lalu mengembangkan pedoman regional untuk mencegah pernikahan anak dan pernikahan paksa dalam konteks perdagangan manusia.

Pedoman ini bertujuan untuk menyediakan kerangka kerja yang komprehensif dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia ini dengan cara:

  • Menyelaraskan upaya nasional dan regional dengan standar hak asasi manusia internasional.
  • Mendorong kemitraan antara pemerintah dan organisasi non-pemerintah untuk melindungi anak-anak yang rentan.
  • Memastikan akses terhadap keadilan bagi korban perdagangan manusia dalam konteks pernikahan paksa.

Kesepakatan mengenai pedoman ini akan menjadi langkah awal yang penting dalam menangani pernikahan anak dan perdagangan manusia secara lebih efektif.

Namun, komitmen dari semua pihak diperlukan untuk mencegah dan menghentikan praktik ini sepenuhnya.

Negara-negara anggota ASEAN dan komunitas global perlu mengambil langkah lebih jauh dalam mengatasi akar permasalahan pernikahan anak dan perdagangan manusia, termasuk kemiskinan, ketimpangan gender, dan norma budaya yang masih membiarkan praktik ini berlangsung.

Tanpa tindakan nyata, pernikahan anak akan terus menjadi ancaman bagi hak dan masa depan anak-anak di ASEAN dan dunia.

Baca Juga: Legal di Irak, Pernikahan Anak Tetap Jadi Bentuk Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Anak

(*)

Sumber: The Interpreter
Penulis:
Editor: Arintha Widya


REKOMENDASI HARI INI

Tampil Percaya Diri, Perempuan Perlu Lakukan 6 Hal Ini di Kencan Pertama