Kenapa Perempuan Bertahan di Pernikahan yang Penuh Kekerasan?

Saras Bening Sumunar - Rabu, 12 Februari 2025
Kenapa perempuan bertahan di pernikahan yang penuh kekerasan?
Kenapa perempuan bertahan di pernikahan yang penuh kekerasan? IstockPhoto

 

Parapuan.co - Hari Pernikahan Sedunia atau World Marriage Day diperingati setiap tahunnya pada Minggu kedua bulan Februari, yang jatuh pada 9 Februari 2025 lalu.

Hari Pernikahan Sedunia seakan menjadi peringatan atas upaya pasangan untuk menjaga keharmonisan pernikahannya.

Namun tahukah Kawan Puan bahwa pernikahan juga bisa membawa perempuan menjadi korban utama kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) terdapat 2.220 kasus kekerasan, terhitung sejak 1 Januari 2025.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.920 perempuan menjadi korban kekerasan dan 466 di antaranya adalah laki-laki.

Menurut tempat kejadiannya, sebesar 62,2 persen aksi kekerasan terjadi dalam lingkungan rumah tangga.

Adanya kasus KDRT yang menempatkan perempuan menjadi korban utama mencerminkan kurangnya kesadaran akan bahaya kekerasan dalam lingkup keluarga.

Bukan itu saja, pelaku yang melakukan kekerasan seakan 'buta' dengan jerat hukum yang sudah jelas diberlakukan.

Namun sayang, perempuan yang menjadi korban KDRT terkadang harus rela bertahan hidup dengan pelaku karena berbagai alasannya.  

Baca Juga: Masih Banyak Perempuan Alami KDRT, Apa yang Bisa Dirayakan Saat World Marriage Day?

Merujuk dari laman Institute Family Studies, Dr. Jaclyn Cravens Pickens melakukan penelitian tentang mengapa perempuan bertahan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan.

Penelitian yang dirilis tahun 2015 ini menyebut bahwa ada beberapa faktor yang membuat perempuan bertahan dalam rumah tangga toksik.

Mulai dari perasaan takut hingga masalah kekhawatiran kendala finansial setelah berpisah dari pasangannya menjadi alasan perempuan bertahan di hubungan yang tidak sehat.

Lebih dari itu, ada beberapa alasan lainnya perempuan korban KDRT harus menelan pil pahit hidup dalam lingkungan yang penuh kekerasan.

1. Karena ketakutan: ancaman fisik dan emosional oleh pelaku kekerasan membuat korbannya merasa takut untuk speak up atau melaporkan.

Pada situasi ini, perempuan seakan dikendalikan oleh pasangannya. Alhasil, korban bisa mengalami trauma hebat hingga memicu ketakutan dan masalah mental kronis.

Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga merasa terjebak karena ancaman suami yang akan menyakitinya lagi dan lagi.

2. Alasan anak-anak: banyak perempuan yang masih mempertahankan rumah tangga toksik karena alasan anak-anak.

Baca Juga: Edukasi Soal Kekerasan dalam Rumah Tangga: Langkah Preventif Perempuan Lindungi Diri

Kamu mungkin khawatir, jika melaporkan perilaku pasangan, anak-anak akan menjadi berpihak pada salah satu orang tuanya.

Kamu juga takut kalau anak tidak mendapatkan kasih sayang utuh dari orang tuanya.

Padahal, menurut penulis, perempuan yang bertahan dalam rumah tangga yang toksik justru bisa mengorbankan keselamatannya sendiri dan bahkan anak-anak mereka.

Pasalnya, suami yang melakukan kekerasan terhadap istrinya, bukannya tak mungkin akan melakukan tindakan yang sama pada anak-anak mereka. 

Sementara itu, dari perspektif anak, melihat ibunya menjadi korban kekerasan dari ayahnya bisa menyebabkan masalah kesehatan mental yang berdampak hingga mereka dewasa kelak. 

3. Kendala finansial: perempuan yang tidak memiliki kemandirian finansial atau keterbatasan ekonomi cenderung menggantungkan hidupnya pada suami sebagai pencari nafkah utama.

Sehingga ketika mengalami KDRT, kamu enggan bertindak karena khawatir tidak bisa bertahan hidup tanpa bantuan ekonomi dari pasangan.

Ditambah lagi kamu tidak memiliki penghasilan untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri.

Oleh karenanya penting bagi perempuan untuk bisa mencapai financial freedom.

Baca Juga: Perbedaan Financial Freedom dan Kemandirian Finansial, Mana yang Kamu Pilih?

Dengan begitu kamu tidak perlu bergantung pada orang lain untuk mencukupi kebutuhanmu sendiri.

Terkait masih banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan, penulis menekankan bahwa diperlukan dukungan untuk para korban KDRT.

Ketika kamu menjadi korban KDRT atau mengetahui adanya kasus kekerasan pada orang terdekat, segera laporkan pada lembaga hukum, misal kepolisian maupun Komnas Perempuan.

Bukan itu saja, pihak kepolisian juga perlu mengambil langkah cepat dan tegas dalam memberikan sanksi pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

Bagi korban kekerasan dalam rumah tangga, hindari bersikap denial atas tindak kekerasan yang dilakukan suamimu.

Perilaku ini bukan hanya merusak mental tapi juga bentuk kesalahan yang tidak bisa ditolerir.

Kawan Puan, jangan beri ruang untuk para pelaku kekerasan termasuk dalam lingkup keluarga.

Baca Juga: Legal di Irak, Pernikahan Anak Tetap Jadi Bentuk Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Anak

(*)



REKOMENDASI HARI INI

Modus Profesi Ibu Pengganti, Perempuan di Thailand Jadi Korban Perdagangan Sel Telur Manusia