Parapuan.co - Di Jepang, ada sebuah fenomena sosial yang dikenal sebagai jouhatsu, atau "orang yang menguap".
Istilah ini merujuk pada individu yang memilih untuk menghilang secara sukarela dari kehidupan mereka, meninggalkan pekerjaan, keluarga, dan identitas mereka di belakang tanpa memberi tahu siapa pun.
Fenomena ini terjadi karena berbagai alasan, mulai dari tekanan sosial, masalah keuangan, hingga rasa malu yang mendalam akibat kegagalan dalam hidup.
Lantas, mengapa orang memilih menghilang dan ke mana mereka pergi? Simak informasi tentang apa itu jouhatsu seperti merangkum Time berikut ini!
Mengapa Orang Memilih Menghilang?
Jepang dikenal sebagai negara dengan tekanan sosial yang tinggi. Banyak orang merasa terbebani oleh ekspektasi keluarga dan masyarakat, terutama dalam hal pekerjaan dan status sosial.
Seorang pria bernama Norihiro, misalnya, pernah kehilangan pekerjaannya sebagai insinyur tetapi terlalu malu untuk mengakuinya kepada keluarganya.
Setiap pagi, ia tetap berpura-pura pergi ke kantor, tetapi sebenarnya hanya menghabiskan waktu di mobilnya hingga malam hari.
Ketika uangnya habis dan kebohongannya tidak dapat lagi dipertahankan, ia memilih untuk menghilang dan memulai kehidupan baru di Sanya, sebuah distrik yang sebelumnya dihapus dari peta Tokyo karena reputasinya yang buruk.
Baca Juga: Fenomena Mukbang: Dari Tren Hiburan hingga Kontroversi Sosial
Selain tekanan pekerjaan, masalah pribadi seperti perceraian, hutang, atau skandal juga menjadi pemicu utama.
Di masyarakat Jepang, kegagalan pribadi sering kali dianggap sebagai aib yang sulit untuk diterima, sehingga menghilang tampak seperti solusi yang lebih baik daripada menghadapi konsekuensi sosial.
Ke Mana Mereka Pergi?
Bagi sebagian besar jouhatsu, menghilang tidak berarti hidup di jalanan.
Banyak dari mereka mencari perlindungan di tempat-tempat tertentu, seperti daerah kumuh dengan biaya hidup rendah atau kota kecil yang jauh dari pusat kehidupan mereka sebelumnya.
Ada juga bisnis yang disebut yonige-ya, atau "toko pelarian malam", yang membantu orang-orang menghilang secara profesional dengan menyediakan tempat tinggal baru, dokumen palsu, dan bahkan pekerjaan baru.
Fenomena ini telah menjadi bagian dari budaya Jepang selama bertahun-tahun, tetapi angka pastinya sulit diketahui.
Secara resmi, Kepolisian Nasional Jepang mencatat sekitar 82.000 orang hilang pada tahun 2015, dengan sekitar 80.000 ditemukan kembali dalam tahun yang sama.
Namun, beberapa organisasi seperti Missing Persons Search Support Association of Japan (MPS) mengklaim bahwa jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi, mencapai ratusan ribu orang per tahun.
Baca Juga: Fenomena Barbie Syndrome di Amerika: Ketika Penampilan Jadi Beban Sosial
Jouhatsu dalam Budaya Populer
Fenomena jouhatsu telah menginspirasi berbagai karya fiksi di Jepang. Misalnya, dalam novel dan film Spirited Away, protagonis utama tersesat di dunia supernatural dan harus mencari jalan kembali.
Konsep menghilang juga sering muncul dalam cerita rakyat Jepang, seperti kisah kamikakushi di mana seseorang diculik oleh makhluk supranatural dan kembali dengan perubahan misterius.
Di luar fiksi, wartawan Prancis Léna Mauger telah menyelidiki fenomena ini dan menulis buku yang mengungkap kisah-kisah nyata para jouhatsu.
Namun, keakuratan beberapa klaim dalam bukunya masih diperdebatkan oleh para ahli dan warga Jepang sendiri.
Jouhatsu: Pilihan Terakhir atau Pelarian?
Bagi sebagian orang, jouhatsu adalah cara untuk menghindari kehancuran lebih lanjut dalam hidup mereka, baik secara finansial maupun emosional.
Dalam beberapa kasus, ini lebih disukai daripada menghadapi rasa malu atau bahkan bunuh diri, yang juga menjadi masalah serius di Jepang.
Seperti yang dikatakan seorang jurnalis Jepang, "Lebih baik menghilang daripada mati."
Namun, menghilang bukanlah solusi jangka panjang. Ketiadaan dukungan keluarga dan teman dapat memperburuk kondisi mental seseorang.
Meski begitu, dengan tekanan sosial yang tetap tinggi di Jepang, jouhatsu kemungkinan akan terus menjadi fenomena yang sulit dihapuskan dari masyarakat modern negeri sakura ini.
Baca Juga: Apa Itu Fenomena January Blues yang Sering Terjadi di Awal Tahun?
(*)