Diusulkan Dua Dekade Lebih, Komnas Perempuan Dorong Percepatan Pengesahan RUU PPRT

Arintha Widya - Jumat, 14 Februari 2025
Komnas Perempuan dll dorong percepatan pengesahan RUU PPRT
Komnas Perempuan dll dorong percepatan pengesahan RUU PPRT FG Trade

Parapuan.co - Dalam rangka memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional yang jatuh setiap 15 Februari, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) kembali menegaskan desakan mereka terhadap percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Upaya pengesahan RUU PPRT telah berlangsung selama 21 tahun sejak pertama kali diusulkan oleh berbagai lembaga dan organisasi kepada DPR pada tahun 2004.

Berbagai strategi telah dilakukan, termasuk komunikasi intensif dengan DPR RI serta pendekatan kepada masyarakat sipil. '

Peringatan Hari PRT Nasional tahun 2025 diharapkan menjadi momentum penting dalam mewujudkan harapan lebih dari 4 juta PRT di Indonesia agar RUU PPRT segera disahkan menjadi undang-undang.

Mengutip siaran pers di laman resminya, Komnas Perempuan mengapresiasi masuknya RUU PPRT dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029.

Sebagaimana rekomendasi yang telah disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 28 Oktober 2024, Komnas Perempuan berharap pemerintah saat ini dapat menunjukkan komitmen yang sama kuatnya dengan pemerintahan sebelumnya dalam mendukung pengesahan RUU PPRT.

Keberpihakan terhadap RUU PPRT merupakan bagian dari komitmen bersama terhadap keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Olivia Chadidjah Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan, menyoroti minimnya perlindungan bagi pekerja di sektor informal, khususnya PRT yang mayoritas adalah perempuan.

"Perlindungan bagi pekerja di sektor informal masih sangat kurang, termasuk bagi pekerja rumah tangga yang mayoritasnya perempuan. Hingga saat ini kekerasan terhadap PRT terus terjadi dalam berbagai bentuk kekerasan dan penyiksaan yang paling kejam," ungkap Olivia.

Baca Juga: Poin Penting di RUU PPRT yang Dapat Lindungi Pekerja Rumah Tangga

Pihaknya juga menambahkan, "Hingga 2024, Komnas Perempuan masih menerima kasus pengaduan terhadap kekerasan yang dialami oleh PRT di antaranya kekerasan hingga berakhir meninggal dalam kondisi mengenaskan yakni ditemukan gantung diri lantaran dituduh melakukan pencurian oleh majikannya."

"Bukan hanya kasus penyiksaan PRT yang mengarah pada femisida, terdapat pula kasus PRT yang mengalami kekerasan berlapis, yakni korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) lewat perekrutan, mengalami kekerasan seksual dan delayed in justice agar kasus diupayakan selesai dengan mekanisme Restorative Justice," kata Olivia lagi.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan bahwa Komnas HAM terus memberikan perhatian terhadap kelompok rentan dan marginal yang memiliki potensi besar mengalami pelanggaran hak asasi manusia.

"Selama ini Komnas HAM telah menerima pengaduan kasus pekerja rumah tangga yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia, antara lain gaji tidak dibayar, hilang kontak, kekerasan, perdagangan orang, dan kekerasan seksual," papar Anis.

Hak atas pekerjaan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 dan berlaku tanpa diskriminasi.

Negara memiliki tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk hak atas pekerjaan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945.

Pada tahun 2024, Komnas HAM telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Pekerjaan yang Layak.

Dalam SNP ini ditegaskan bahwa PRT adalah kelompok rentan yang memerlukan regulasi khusus demi memastikan pemenuhan hak-hak mereka.

Selama ini, hubungan kerja PRT kerap dikecualikan dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengingat pemberi kerja adalah individu perseorangan dan hubungan kerja sering dianggap berbasis kekeluargaan.

Baca Juga: Masuk Prolegnas, Jokowi Sebut 4 Alasan RUU PPRT Perlu Segera Disahkan

Akibatnya, PRT kerap tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai serta kehilangan akses terhadap layanan kesejahteraan, penegakan hukum, dan kebebasan berserikat.

Indonesia hingga kini belum meratifikasi Konvensi ILO C 189 - Domestic Workers Convention, 2011 (No. 189).

Saat ini, perlindungan terhadap PRT hanya diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015.

Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang guna memastikan perlindungan hukum bagi PRT, termasuk dalam aspek perjanjian kerja, jaminan sosial, pendidikan, pelatihan, serta hak berserikat.

Komnas HAM menekankan bahwa percepatan pengesahan RUU PPRT merupakan langkah krusial dalam menjamin hak-hak PRT serta mendorong pembahasan yang lebih partisipatif.

Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, menyoroti persoalan PRT anak yang masih menjadi masalah serius.

"PRT anak merupakan bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) yang sangat membahayakan tumbuh kembang serta merampas hak anak seperti pendidikan, kesehatan, pengasuhan, dan partisipasi dalam hidupnya," terang Ketua KPAI.

"Sehingga upaya menghapus pekerja anak dan anak dalam BPTA menjadi agenda prioritas pemerintah dalam optimalisasi perlindungan anak. Akan tetapi KPAI masih menerima pengaduan anak korban eksploitasi ekonomi dan atau seksual berupa PRT anak yang disertai kekerasan fisik dan/psikis serta seksual, dan bahkan tidak diberikan gaji dan makanan yang layak," imbuhnya.

Beberapa kasus di Lampung (2023) dan Jakarta Pusat (2024) menunjukkan bahwa anak-anak masih direkrut dan dipekerjakan sebagai PRT tanpa perlindungan yang memadai.

Baca Juga: Poin Penting RUU PPRT Menurut Kemnaker, Ada 367 Daftar Inventarisasi Masalah

RUU PPRT diharapkan dapat menjadi dasar hukum dalam pencegahan dan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, terutama dalam mencegah eksploitasi anak yang rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi mereka.

Komisioner Komnas Disabilitas, Fatimah Asri, menambahkan bahwa hadirnya RUU PPRT sangat dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum terkait perlindungan PRT, terutama yang rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan.

"Hadirnya Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) merupakan oase di tengah kekosongan hukum mengenai pelindungan bagi pekerja rumah tangga yang selama ini berada dalam ruang hampa," tutur Fatimah.

"Selama ini, Pekerja Rumah Tangga rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi yang tak jarang berimplikasi pada kedisabilitasan baik fisik maupun mental," ujarnya.

Fatimah mengatakan pula, "Meski belum ditemukan data pasti berapa jumlah PRT yang menjadi disabilitas akibat kekerasan dan eksploitasi, namun beberapa kasus yang mencuat ke permukaan, bisa menjadi indikator kuat akan hal tersebut."

Komnas Disabilitas menekankan bahwa RUU PPRT harus memastikan perlindungan komprehensif bagi seluruh PRT, termasuk pekerja migran yang kerap menjadi korban praktik ilegal.

"Tidak hanya itu, RUU PPRT ini dapat lebih progresif dengan memberikan kepastian dan keadilan bagi Penyandang Disabilitas yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga," pungkas Fatimah.

Semoga RUU PPRT segera disahkan agar perempuan, anak, atau siapapun pekerja rumah tangga, memperoleh perlindungan hukum dari negara.

Baca Juga: Aktivis Perempuan dan Buruh PRT Gelar Aksi Olahraga Bersama untuk Wujudkan Indonesia Bebas KDRT

(*)

Sumber: Komnas Perempuan
Penulis:
Editor: Arintha Widya


REKOMENDASI HARI INI

Diusulkan Dua Dekade Lebih, Komnas Perempuan Dorong Percepatan Pengesahan RUU PPRT