Baca Juga: 9 Ide Aktivitas Seru dan Bermanfaat untuk Anak Selama Libur Lebaran
"Alih-alih langsung menyerah atau tetap teguh pada keputusan 'tidak,' kita bisa mengajak anak untuk menjelaskan alasannya. Pendekatan ini mengajarkan anak bahwa komunikasi yang efektif—bukan sekadar mengulang permintaan—dapat menghasilkan hasil yang lebih baik."
2. Jelaskan Alasan Perubahan Keputusan
Ada kalanya orang tua mengubah keputusan mereka, bukan karena tekanan anak, tetapi karena mereka menyadari bahwa keputusan awal tidak seburuk yang dipikirkan.
Dr. Rebekah Diamond, seorang dokter anak dan profesor di Columbia University, mengatakan bahwa ketika mengubah keputusan dari "tidak" menjadi "ya," penting untuk menjelaskan alasannya.
"Saat sebuah 'tidak' berubah menjadi 'ya,' sebaiknya jelaskan alasannya, agar anak tidak menganggap bahwa mereka menang atau bahwa merengek adalah cara yang efektif untuk mendapatkan keinginannya," kata Dr. Diamond. Dengan begitu, anak akan memahami bahwa perubahan keputusan didasarkan pada logika, bukan manipulasi.
3. Hindari Membiasakan Kebiasaan Menyerah
Dr. Douvikas menegaskan bahwa strategi "mengatakan 'ya' segera" hanya boleh dilakukan sesekali. Dr. Boucher juga mengingatkan bahwa kebiasaan terlalu sering menuruti keinginan anak bisa menanamkan pola pikir bahwa semua keinginan mereka harus selalu dipenuhi.
"Meskipun terlihat sebagai cara mudah untuk menghindari konflik, ini bukan strategi jangka panjang yang berkelanjutan," ujar Dr. Boucher.
Ia menambahkan bahwa batasan bukanlah tentang menjadi kaku atau merusak kesenangan anak, tetapi tentang mengajarkan regulasi diri, tanggung jawab, dan ketahanan.
Baca Juga: Cara Mengajarkan Anak Berwirausaha di Momen Libur Panjang Lebaran 2025
4. Menemukan Keseimbangan
Dr. Diamond mengakui bahwa semua orang tua pasti mengalami hari-hari sulit. "Penting untuk memilih pertarungan mana yang perlu dihadapi dan kapan perlu mengalah demi kebaikan bersama," ujarnya.
Namun, Dr. Boucher menegaskan bahwa struktur tetap penting dalam pengasuhan anak.
"Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan tanpa batasan yang konsisten cenderung memiliki kesulitan dalam mengatur diri, mengelola frustrasi, dan mengendalikan emosi mereka," katanya.
Ia mengingatkan bahwa keseimbangan dalam mengatakan "ya" dan "tidak" adalah kuncinya.
"Terlalu kaku, Anda berisiko menciptakan ketakutan dan kebencian. Terlalu lunak, anak tidak akan memiliki struktur yang mereka butuhkan untuk merasa aman dan percaya diri," kata Dr. Boucher.
"Tujuannya bukan untuk selalu mengatakan 'ya' atau 'tidak,' tetapi untuk memberikan keputusan yang masuk akal dengan kasih sayang dan kepercayaan diri."
Dengan memahami kapan harus mengatakan "ya" dan kapan harus tetap pada keputusan "tidak," orang tua dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi anak mereka—baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Nah, sekarang Kawan Puan juga sudah tahu kan kapan harus menuruti keinginan anak dan kapan tidak? Semoga bermanfaat!
Baca Juga: Bagaimana Cara Mengajarkan Mengelola Uang pada Anak? Ini Tipsnya
(*)