Studi yang sama juga mengungkapkan, lebih dari 27 persen perempuan merasa keluhan mereka diabaikan karena dianggap hanya disebabkan oleh hormon.
Sebanyak 20 persen bahkan ditanya, "Apakah kamu sedang haid?" saat mengungkapkan krisis mental mereka.
Yang lebih menyedihkan lagi, 22 persen perempuan merasa takut dicap "cari perhatian" saat mengalami serangan panik atau depresi. Hal ini membuat mereka enggan mencari bantuan sejak awal, padahal justru itulah yang dibutuhkan.
CEO CALM, Simon Gunning, menyatakan, "Prasangka yang merugikan membuat perempuan muda tidak terdengar, tidak didukung, dan nyawa mereka kini lebih terancam dari sebelumnya."
Ketidakadilan yang Mengancam Nyawa
Medical misogyny bukan hanya menyakitkan secara emosional, tapi juga membahayakan secara fisik. Studi dari British Journal of Anaesthesia pada 2022 menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mendapatkan obat penyelamat nyawa seperti tranexamic acid (TXA)—yang bisa mengurangi risiko kematian akibat pendarahan hingga 30 persen.
Studi ini melibatkan data dari 216.000 pasien trauma di Inggris dan Wales, dan menemukan bahwa perempuan dua kali lebih jarang diberikan TXA dibanding pria. Sementara itu, studi dari JAMA Surgery mendapati bahwa perempuan lebih mungkin mengalami komplikasi dan bahkan kematian pasca operasi jika ditangani oleh dokter bedah laki-laki, dibanding jika operasinya dilakukan oleh dokter perempuan.
“Hasil ini berdampak nyata bagi pasien perempuan, termasuk lebih banyak komplikasi, rawat inap ulang, dan kematian,” kata Dr. Angela Jerath, penulis studi dan epidemiolog klinis dari University of Toronto.
Kenapa Perempuan Beralih ke Terapi Alternatif?
Dengan berbagai ketimpangan yang kamu lihat di atas, tidak mengherankan jika banyak perempuan mulai beralih ke terapi alternatif atau pendekatan holistik. Emma Cannon, seorang ahli kesuburan holistik, menyatakan: