Apa Itu Medical Misogyny yang Membuat Perempuan Sulit Dapat Akses Kesehatan yang Tepat?

Arintha Widya - Senin, 7 April 2025
Medical misogyny membuat perempuan kurang dapat perawatan kesehatan yang tepat.
Medical misogyny membuat perempuan kurang dapat perawatan kesehatan yang tepat. Freepik

Parapuan.co - Pernahkah Kawan Puan merasa keluhanmu terkait kondisi kesehatan tidak ditanggapi serius hanya karena kamu perempuan? Jika iya, kamu tidak sendirian. Fenomena ini dikenal sebagai medical misogyny atau misoginis medis.

Medical misogyny merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan perlakuan bias terhadap perempuan dalam sistem pelayanan kesehatan, yang membuat mereka sering kali tidak mendapatkan diagnosis atau pengobatan yang layak dan tepat waktu.

Mengutip Glamour Magazine, terdapat sebuah laporan dari Women and Equalities Committee (WEC) di Inggris yang mengungkapkan betapa sistem kesehatan selama ini mengabaikan kebutuhan perempuan, terutama dalam urusan kesehatan reproduksi dan mental.

Menurut laporan tersebut, stigma terhadap kesehatan reproduksi perempuan sangat "meresap", sehingga banyak perempuan harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan.

"Diagnosis lambat bukan hanya karena gejala kondisi kesehatan reproduksi sering kali tidak spesifik, tetapi juga karena kurangnya keahlian dan sumber daya," demikian yang tertulis di laporan itu.

"Perempuan diberi tahu bahwa gejala seperti perdarahan hebat dan nyeri serta inkontinensia itu 'normal', bahwa mereka terlalu muda untuk memiliki suatu kondisi, atau terlalu tua untuk berharap mendapat pengobatan."

Masalah ini diperparah dengan kurangnya pemahaman di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Bahkan, seperti yang dialami oleh aktris Florence Pugh, diagnosis PCOS (sindrom ovarium polikistik) dari dokter spesialis di Amerika ditolak mentah-mentah oleh tenaga medis di Inggris.

Saat Kesehatan Mental Juga Tidak Dianggap Serius

Medical misogyny tidak hanya terbatas pada isu organ reproduksi. Perempuan yang mencari bantuan untuk masalah kesehatan mental pun sering dicap drama queen. Studi dari Campaign Against Living Miserably (CALM) menemukan bahwa satu dari lima perempuan pernah disebut "terlalu dramatis" saat mencari bantuan untuk kesehatan mental mereka.

Baca Juga: Aspek Kesehatan Perempuan yang Perlu Mendapatkan Perhatian Khusus

Studi yang sama juga mengungkapkan, lebih dari 27 persen perempuan merasa keluhan mereka diabaikan karena dianggap hanya disebabkan oleh hormon.
Sebanyak 20 persen bahkan ditanya, "Apakah kamu sedang haid?" saat mengungkapkan krisis mental mereka.

Yang lebih menyedihkan lagi, 22 persen perempuan merasa takut dicap "cari perhatian" saat mengalami serangan panik atau depresi. Hal ini membuat mereka enggan mencari bantuan sejak awal, padahal justru itulah yang dibutuhkan.

CEO CALM, Simon Gunning, menyatakan, "Prasangka yang merugikan membuat perempuan muda tidak terdengar, tidak didukung, dan nyawa mereka kini lebih terancam dari sebelumnya."

Ketidakadilan yang Mengancam Nyawa

Medical misogyny bukan hanya menyakitkan secara emosional, tapi juga membahayakan secara fisik. Studi dari British Journal of Anaesthesia pada 2022 menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mendapatkan obat penyelamat nyawa seperti tranexamic acid (TXA)—yang bisa mengurangi risiko kematian akibat pendarahan hingga 30 persen.

Studi ini melibatkan data dari 216.000 pasien trauma di Inggris dan Wales, dan menemukan bahwa perempuan dua kali lebih jarang diberikan TXA dibanding pria. Sementara itu, studi dari JAMA Surgery mendapati bahwa perempuan lebih mungkin mengalami komplikasi dan bahkan kematian pasca operasi jika ditangani oleh dokter bedah laki-laki, dibanding jika operasinya dilakukan oleh dokter perempuan.

“Hasil ini berdampak nyata bagi pasien perempuan, termasuk lebih banyak komplikasi, rawat inap ulang, dan kematian,” kata Dr. Angela Jerath, penulis studi dan epidemiolog klinis dari University of Toronto.

Kenapa Perempuan Beralih ke Terapi Alternatif?

Dengan berbagai ketimpangan yang kamu lihat di atas, tidak mengherankan jika banyak perempuan mulai beralih ke terapi alternatif atau pendekatan holistik. Emma Cannon, seorang ahli kesuburan holistik, menyatakan:

Baca Juga: Satu Dekade BPJS Kesehatan Kelola JKN, Bagaimana Layanan Kesehatan Perempuan?

"Saya percaya wellness berkembang karena banyak orang tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari sistem kesehatan. Sudah 25 tahun saya mencoba menjembatani keduanya."

Menurut Emma, dunia medis yang sangat patriarkal sering kali mengabaikan faktor gaya hidup yang sebenarnya punya dampak besar terhadap kesehatan perempuan. Misalnya, dalam program IVF (bayi tabung), banyak klinik tidak membahas soal kehidupan seksual pasangan, padahal ini adalah faktor penting.

"Sistem kadang tidak menawarkan apa pun jika mereka tidak yakin ada solusi medis. Tapi gaya hidup juga sangat memengaruhi hasil kesehatan," ujar Emma.

Harapan dari FemTech dan Inovasi Digital

Perempuan tidak tinggal diam. FemTech—teknologi kesehatan yang dirancang khusus untuk kebutuhan perempuan—terus berkembang. Contohnya adalah Natural Cycles, aplikasi kontrasepsi non-hormonal yang diciptakan oleh fisikawan partikel Dr. Elina Berglund.

"Awalnya saya berhenti pakai kontrasepsi hormonal, tapi tidak menemukan alternatif yang memadai," kata Dr. Elina. "Saya menggunakan keahlian matematika statistik saya untuk membuat algoritma yang bisa memprediksi ovulasi berdasarkan suhu tubuh. Awalnya hanya untuk saya sendiri, tapi ternyata teman-teman saya juga membutuhkannya."

Sekarang, Natural Cycles digunakan oleh ratusan ribu perempuan di lebih dari 200 negara. Hal ini menunjukkan betapa besar kebutuhan akan sistem kesehatan yang benar-benar memperhatikan dan menghargai tubuh perempuan.

Jadi, Apa Solusinya?

Menghadapi medical misogyny, kamu tidak harus menolak medis konvensional atau sepenuhnya menyerahkan diri ke terapi alternatif. Menurut Emma Cannon, yang perempuan butuhkan adalah sistem kesehatan yang mendengarkan, memahami, dan menghargai tubuh serta pengalamanmu sebagai perempuan.

Karena kamu berhak mendapatkan pengobatan yang adil, tepat, dan manusiawi—tanpa harus membuktikan bahwa rasa sakitmu itu nyata.

Mudah-mudahan medical misogyny ini tidak kita alami, dan tidak terjadi di dunia medis di sekitar kita ya, Kawan Puan.

Baca Juga: Ini Kunci Penting Memahami Kesehatan Perempuan dengan Melacak HRV dan Siklus Menstruasi

(*)

Sumber: glamourmagazine.co.uk
Penulis:
Editor: Arintha Widya


REKOMENDASI HARI INI

Stigma Masalah Kesehatan Perempuan yang Masih Kerap Dianggap Hormonal