Parapuan.co - Perempuan memang bisa mengalami masalah kesehatan karena pengaruh hormon. Misalnya mengalami nyeri haid atau suasana hati yang naik turun sebelum maupun selama menstruasi. Namun, masalah kesehatan yang dikeluhkan perempuan semestinya tidak disepelekan, walau pemicunya adalah hormon.
Sudah lebih dari satu abad sejak hormon pertama kali ditemukan, namun hingga kini, kesehatan hormonal perempuan bisa dibilang masih sering disalahpahami dan diabaikan. Hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia, stigma terhadap masalah kesehatan perempuan yang dianggap "hanya" persoalan hormonal masih kuat. Hal ini membuat banyak perempuan enggan mencari pertolongan medis meski mengalami gejala yang mengganggu.
Tak jarang, perempuan yang mengalami gejala seperti nyeri hebat, kelelahan kronis, hingga hot flashes, tetapi malah dianggap “berlebihan” atau sedang dalam “masalah hormonal biasa”—sebuah label yang secara tak langsung mengerdilkan pengalaman terkait masalah kesehatan mereka.
Kurangnya Kesadaran dan Stigma Sosial
Banyak perempuan yang merasa bahwa gejala seperti nyeri haid, perubahan suasana hati, atau menstruasi tidak teratur adalah hal yang wajar dan harus ditoleransi. Padahal, kondisi-kondisi tersebut bisa jadi indikasi ketidakseimbangan hormon yang memerlukan perhatian medis.
Survei terbaru dari Mira (perusahaan kesehatan hormonal yang berpusat di San Francisco) seperti melansir PR Newswire, mengungkap bahwa 68 persen perempuan di Amerika Serikat enggan mencari bantuan medis meski mengalami gejala berat akibat stigma masalah hormonal.
Bahkan, 4 dari 10 perempuan merasa keluhannya tidak cukup serius untuk dikonsultasikan, padahal mereka menghadapi tantangan nyata setiap hari. Lebih menyedihkan lagi, 24 persen perempuan mengaku pernah mempertimbangkan berhenti kerja karena gejala hormonal yang mengganggu—sebuah fenomena yang jika diakumulasikan, bisa menyebabkan kerugian ekonomi hingga USD 196 miliar per tahun akibat hilangnya produktivitas.
Angka-angka ini menunjukkan betapa perempuan telah lama dituntut untuk menoleransi rasa sakit dan gangguan hormonal seolah itu bagian alami dari hidup yang harus diterima begitu saja.
CEO dan co-founder Mira, Sylvia Kang, menegaskan bahwa 35 persen perempuan bahkan menghindari aktivitas sosial atau olahraga karena gejala hormonal. Ini jelas bukan sekadar ketidaknyamanan, tapi penghalang nyata terhadap kualitas hidup.
Baca Juga: Satu Dekade BPJS Kesehatan Kelola JKN, Bagaimana Layanan Kesehatan Perempuan?
Dampak pada Kualitas Hidup dan Produktivitas
Dikutip dari Kompas.com, ketidakseimbangan hormon tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga kualitas hidup secara keseluruhan. Di Indonesia, data spesifik mengenai dampak ekonomi dari masalah hormonal pada perempuan masih minim.
Namun, melihat tren global, di mana banyak perempuan mempertimbangkan untuk meninggalkan pekerjaan karena gejala hormonal yang mengganggu, dapat diasumsikan bahwa kondisi serupa juga terjadi di Indonesia.
Melalui laporan State of Hormonal Health 2025, Mira berupaya membuka mata publik tentang pentingnya memahami kesehatan hormonal sebagai bagian integral dari kesejahteraan perempuan.
Inovasi femtech seperti alat pelacak hormon Mira memberikan data yang dipersonalisasi, membantu perempuan mengenali kondisi tubuhnya dan mengambil keputusan yang lebih tepat.
Menurut Brittany Barreto, PhD, penting bagi kita menggeser narasi—bahwa pemeriksaan hormonal haruslah menjadi sesuatu yang umum dan terjangkau, sebagaimana kita mengecek tekanan darah atau gula darah.
Keprihatinan ini menjadi pengingat bahwa kita harus mulai menyuarakan pentingnya ruang aman bagi perempuan untuk mengakui, memahami, dan menangani masalah hormonal mereka.
Perempuan berhak tahu bahwa mereka tidak sendiri, dan tidak ada yang "terlalu sepele" untuk diperiksa. Mencari pertolongan bukanlah tanda kelemahan, tapi bentuk keberanian untuk mengutamakan kesehatan diri.
Sebagai bagian dari gerakan perubahan ini, Mira juga meluncurkan Hormone Innovators Award untuk menghargai individu dan lembaga yang berkontribusi nyata dalam riset dan penanganan kesehatan hormonal perempuan.
Baca Juga: Waspada 3 Masalah Kesehatan Mental yang Paling Sering Dialami Ibu
Inisiatif ini diperkuat oleh dukungan dari berbagai mitra seperti ŌURA, Hello Alpha, Tiny Health, FLO Living, dan Femtech Insider melalui peringatan Sex Hormones Awareness Week pada Februari 2025.
Sudah saatnya kita berhenti menganggap kesehatan hormonal sebagai "urusan perempuan yang emosional semata". Ini adalah isu medis yang nyata, kompleks, dan membutuhkan perhatian setara. Perempuan patut didengar, dipahami, dan didukung—terutama ketika tubuh mereka sedang bicara.
Perempuan perlu menyadari bahwa mencari bantuan medis untuk masalah hormonal bukanlah sesuatu yang memalukan atau berlebihan. Sebaliknya, langkah tersebut menunjukkan kepedulian terhadap kesehatan diri sendiri.
Konsultasi dengan dokter dapat membantu mengidentifikasi penyebab gejala dan memberikan penanganan yang tepat, sehingga kualitas hidup dapat meningkat.
Upaya Mengatasi Stigma dan Tantangan
Untuk mengatasi stigma dan tantangan terkait masalah kesehatan hormonal perempuan, diperlukan edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat. Kampanye kesehatan yang menekankan bahwa masalah hormonal adalah kondisi medis yang sah dan memerlukan perhatian serius dapat membantu mengubah persepsi yang keliru.
Selain itu, dukungan dari keluarga dan lingkungan kerja juga penting agar perempuan merasa didukung dalam mencari perawatan yang diperlukan. Dengan meningkatnya kesadaran dan dukungan, diharapkan perempuan tidak lagi ragu untuk mencari pertolongan medis terkait masalah hormonal.
Kesehatan hormonal yang terjaga akan berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup dan produktivitas perempuan, yang pada akhirnya berdampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan.
Baca Juga: Mengapa KB Hormonal Bikin Perempuan Gemuk? Simak Penjelasannya!
(*)