Parapuan.co - Di era digital ini, Kawan Puan mestinya menyadari betapa sulitnya memisahkan remaja dari dunia internet dan smartphone. Seiring dengan kemudahan informasi dan hiburan yang ditawarkan, muncul pula kekhawatiran besar: apakah penggunaan internet yang berlebihan benar-benar membahayakan anak remaja?
Serial Netflix asal Inggris berjudul Adolescence kembali menggugah kesadaran publik akan hal tersebut. Serial Adolescence menggambarkan bagaimana anak laki-laki bisa terjerumus ke dalam paham misoginis melalui internet, bahkan hingga terdampak secara mental.
Melansir DW.com, Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, bahkan mengaku menonton serial itu dan menyatakan bahwa fenomena radikalisasi online terhadap remaja laki-laki adalah "masalah yang muncul dan berkembang".
Internet dan Perubahan Otak Remaja
Kekhawatiran soal dampak internet bukan sekadar panik moral biasa. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan layar yang berlebihan berkontribusi pada masalah kesehatan mental dan fisik remaja. Para ahli mencatat bahwa waktu layar (screentime) yang panjang bisa mengganggu pola tidur dan menurunkan kemampuan fokus.
Menurut Stephen Buchwald, seorang terapis kesehatan mental di Manhattan Mental Health, "Kami melihat semakin banyak pasien muda yang mengalami kecemasan dan masalah harga diri yang berkaitan dengan keterlibatan digital berlebihan. Banyak orang tua tidak menyadari betapa besar pengaruh dunia online terhadap kesehatan mental anak mereka."
Faktanya, kondisi kesehatan mental pada remaja meningkat 35 persen antara tahun 2016 hingga 2023. Kini, lebih dari 20 persen remaja di Amerika Serikat (AS) mengalami gangguan mental atau perilaku seperti kecemasan, depresi, atau gangguan tingkah laku.
Bahaya Konten Beracun dan Algoritma
Kamu mungkin berpikir bahwa yang penting adalah membatasi waktu layar. Tapi lebih dari itu, penting juga untuk memperhatikan apa yang dikonsumsi anak secara online. Dari teori konspirasi hingga ideologi maskulin toksik ala Andrew Tate, remaja—khususnya laki-laki—terpapar narasi yang bisa membentuk cara pikir mereka secara ekstrem.
Baca Juga: Mengenal Incel: Ideologi Berbahaya yang Viral Lewat Serial Adolescence di Netflix
"Banyak anak sebenarnya tidak sengaja mencari konten berbahaya, tapi algoritma menarik mereka ke sana. Sebuah video tentang kebugaran bisa mengarah ke budaya diet ekstrem; klip soal pengembangan diri bisa berubah jadi retorika maskulin toksik. Orang tua perlu tahu apa yang sedang ditonton anak mereka," ujar Stephen Buchwald.
Begitulah cara kerja algoritma internet—sekali seseorang mengklik satu jenis konten, maka konten serupa akan terus muncul, menciptakan efek "Red Pill" yang memperkuat narasi antifeminis dan supremasi laki-laki.
Bukan Hanya Masalah Mental, tapi Juga Fisik
Penggunaan smartphone bukan satu-satunya penyebab menurunnya kesehatan remaja. Studi di Australia menemukan bahwa hampir separuh remaja di sana hidup dengan penyakit kronis atau gangguan perkembangan seperti ADHD atau autisme. Kondisi lain seperti asma, alergi makanan, dan eksim juga semakin umum.
Namun, gaya hidup tidak sehat seperti mengonsumsi makanan ultra-proses, alkohol, dan tembakau ternyata lebih berdampak terhadap kesehatan mental remaja dibanding sekadar waktu layar.
"Remaja yang banyak mengonsumsi makanan olahan dan zat adiktif memiliki kesehatan mental yang lebih buruk, dan ini berhubungan dengan semua kondisi penyakit yang kami ukur," kata Bridie Osman, peneliti dari University of Sydney.
Apa yang Bisa Kamu Lakukan?
Beberapa negara mulai mengambil langkah hukum. Brasil, misalnya, membatasi penggunaan smartphone di sekolah. Australia melarang anak di bawah usia 16 tahun mengakses media sosial.
Tapi para ahli sepakat bahwa solusi sebenarnya tidak hanya soal pelarangan. Kamu, sebagai orang tua atau pendidik, punya peran penting.
Baca Juga: Ganggu Fungsi Otak Anak, Ini Panduan Pembatasan Gadget Sesuai Usia Menurut Ahli
Menurut Buchwald, beberapa hal berikut bisa kamu lakukan untuk menciptakan keseimbangan sehat antara dunia digital dan kehidupan nyata anak:
- Tetapkan batasan waktu penggunaan gadget.
- Dorong anak mencoba hobi tanpa layar seperti membaca, berolahraga, atau seni.
- Jangan langsung melarang aplikasi tertentu—lebih baik ajak diskusi terbuka soal isi kontennya.
- Gunakan kontrol orang tua untuk membatasi waktu dan menyaring konten, serta ajari anak soal literasi digital.
Ingat, kebiasaan digital kamu sendiri juga jadi contoh bagi anak. "Tujuannya bukan menghilangkan layar sama sekali, tapi membangun hubungan yang lebih sehat dengan teknologi," terang Buchwald.
Stephen Buchwald juga menjelaskan, "Orang tua yang mau berdialog, menetapkan batas, dan mengedukasi anak soal media akan membantu mereka menjelajahi dunia digital dengan aman."
Lebih dari sekadar membatasi gadget, kamu juga bisa mendukung kesehatan remaja dengan mengajak mereka makan sehat dan rutin bergerak. Studi menunjukkan bahwa makanan sehat bisa mengurangi rasa nyeri kronis dan meningkatkan kesejahteraan mental.
Internet bukan musuh—tapi dunia maya yang tak terawasi bisa menjadi tempat berbahaya bagi remaja yang masih mencari jati diri.
Dengan pengawasan yang tepat, komunikasi terbuka, dan edukasi yang seimbang, kamu bisa membantu anakmu tumbuh sehat—baik secara fisik maupun mental—di tengah tantangan zaman digital ini.
Jadi, Kawan Puan tidak harus melarang anak sama sekali agar tidak menggunakan ponsel, internet, dan media sosial.
Yang perlu kamu pahami adalah, tetap memantau anak tanpa membuat mereka diawasi dan dihakimi dengan senantiasa membuka diskusi terkait aktivitas mereka di dunia digital.
Baca Juga: Ini Pentingnya Membimbing Anak agar Bijak Pakai Gadget dan Internet di Era Digital
(*)