Ia mengibaratkan hal ini seperti membaca daftar gejala penyakit medis kompleks tanpa diperiksa langsung oleh dokter. "Kesimpulannya bisa menakutkan dan menimbulkan pikiran yang mengarah ke bencana," imbuh Huy.
Huy menambahkan, bisa jadi ada penyebab lain di balik perilaku atau emosi seseorang yang tampak seperti ADHD. Karena itu, penting untuk mendapatkan kejelasan dari profesional agar bisa menentukan cara mengelola, melakukan intervensi, atau pengobatan yang sesuai.
Dampak Buruk Video TikTok Terhadap Persepsi Anak
Amber Young, seorang terapis berlisensi dan pendiri Cope & Calm Counseling, menegaskan bahwa banyak video TikTok berpotensi mengecilkan makna ADHD yang sebenarnya. Ketika remaja melihat video yang menganggap perilaku sehari-hari seperti lupa bicara di tengah kalimat sebagai gejala ADHD, mereka bisa mulai berpikir, "Aku juga begitu, apa aku punya ADHD?"
"Video-video ini juga memutarbalikkan pemahaman mereka tentang diagnosis," jelas Amber Young. "Tes mandiri di internet tidak bisa menggantikan evaluasi profesional yang menilai kehidupan seseorang secara menyeluruh, bukan hanya dari klip 30 detik."
Ia menambahkan bahwa algoritma TikTok berkontribusi menciptakan ruang gema (echo chamber), yang terus-menerus memperkuat ciri-ciri ADHD dalam konten pengguna, bahkan jika sebenarnya mereka tidak memenuhi kriteria klinis.
Bahaya Salah Diagnosis
Ada dua risiko besar dari video semacam ini menurut Daniel Huy. Pertama, diagnosis terhadap kondisi lain seperti kecemasan, depresi, atau gangguan belajar bisa jadi tertunda karena tertutup oleh dugaan ADHD.
Kedua, seseorang yang mengira dirinya mengidap ADHD bisa saja mengonsumsi obat yang tidak perlu, meminta dispensasi akademik yang tidak sesuai, atau bahkan menghindari belajar strategi coping yang sebenarnya mereka butuhkan.