Namun, studi dari Pew Research Center tahun 2022 menyebutkan bahwa, anak-anak yang merasa dikekang justru cenderung menyembunyikan aktivitas digital mereka, yang tentu lebih berisiko. Di sinilah pentingnya menggeser pendekatan dari "melarang" ke "mendampingi".
Salah satu peserta pada acara Cerdas Digital, Ibu Dwi, menceritakan bagaimana awalnya ia merasa kesal karena anaknya terus-terusan bermain game online. Setelah mengikuti sesi, ia mulai berdiskusi dengan anaknya tentang game yang dimainkan.
Ternyata, sang anak bermain karena ingin lebih banyak berbincang dengan temannya di luar jam sekolah. Kini, anak dan ibu itu membuat kesepakatan digital mingguan, bukan aturan sepihak.
Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa literasi digital bukan hanya soal teknologi, tapi soal koneksi di dunia nyata. Perempuan memiliki kemampuan alami untuk membangun kedekatan, empati, dan komunikasi, tiga hal yang sangat dibutuhkan di era ini.
Selain itu, banyak fitur digital kini dirancang untuk mendukung peran perempuan dalam pendampingan anak. Fitur Akun Remaja, misalnya, hadir secara otomatis untuk pengguna di bawah 18 tahun. Namun, semua itu tetap akan efektif bila dibarengi dengan keterlibatan aktif kita di rumah.
Dengan begitu, perempuan bukan sekadar pelindung yang menjaga dari luar, tetapi juga rekan tumbuh yang hadir di samping. Kawab Puan tidak harus menjadi ahli teknologi untuk menjadi pendamping digital yang bijak. Cukup dengan bersedia belajar, bertanya, dan berjalan bersama.
Kini, saatnya kamu mengambil peran itu. Mari ubah paradigma dari larangan menjadi literasi, dari pengawasan menjadi pendampingan. Dunia digital bukan musuh, melainkan ruang baru yang bisa menjadi tempat anak-anak kita berkembang.
Baca Juga: Mengenal Fitur Akun Remaja Instagram, Menjaga Remaja di Dunia Digital
(*)
Celine Night