Parapuan.co - Seorang ibu di masa kini menghadapi tantangan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Di tengah kesibukan mengelola pekerjaan, rumah tangga, dan kehidupan sosial, mereka juga dihadapkan pada realitas dalam mendampingi anak-anak tumbuh di era digital.
Ruang digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses tumbuh kembang remaja. Tak hanya menyediakan peluang besar untuk belajar dan berkarya, tetapi juga membuka celah terhadap berbagai tantangan yang dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis, khususnya bagi remaja perempuan.
Masalah seperti citra tubuh yang terdistorsi, tekanan untuk selalu tampil sempurna, hingga interaksi yang merugikan di media sosial, semakin sering muncul tanpa terdeteksi.
Ketika batas antara dunia nyata dan dunia maya makin kabur, dampak dari aktivitas digital pun ikut terbawa ke ranah pribadi, dan dapat menyentuh hubungan sosial, prestasi belajar, bahkan kepercayaan diri anak-anak.
Dalam situasi ini, peran perempuan sebagai pendamping utama di rumah menjadi semakin penting. Bukan hanya dalam hal pengasuhan tradisional, tetapi juga dalam membentuk pemahaman dan kebiasaan digital yang sehat.
Dari kebiasaan scroll media sosial hingga memilih konten yang dikonsumsi anak, keterlibatan ibu atau figur perempuan dewasa kini menjadi benteng pertama dalam perlindungan digital keluarga.
Menurut laporan Organsisation for Eeconomic Co-operation and Development tahun 2019, anak-anak yang mendapatkan bimbingan aktif dari orang tuanya dalam menggunakan teknologi cenderung memiliki tingkat stres daring yang lebih rendah. Anak-anak perlu bimbingan yang tidak hanya mencakup pengawasan teknis, tetapi juga dukungan emosional yang membantu anak merasa didampingi.
Di Indonesia, survei UNICEF & ECPAT tahun 2021 mengungkapkan bahwa, hanya 35% orang tua yang memahami risiko dunia maya yang dihadapi anak-anak mereka.
Kurangnya pemahaman ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari kesenjangan digital antar generasi, kurangnya akses terhadap informasi literasi digital, hingga beban harian yang membuat orang tua sulit memprioritaskan isu ini.
Baca Juga: Pentingnya Literasi Digital pada Anak untuk Mencegah Paparan Konten Pornografi
Sebagai perempuan, entah sebagai ibu, kakak, guru, atau figur dewasa, seharusnya kita bertindak sebagai pendidik digital pertama. Bukan hanya dalam hal perangkat dan aplikasi, tapi juga dalam cara berpikir, bersikap, dan berinteraksi.
Tantangan yang semakin lama, semaikin besar, membuat para perempuan harus pintar mengelola waktu, dalam menghadapi tekanan sosial, sambil mendampingi anak remaja di dunia digital.
Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah melalui program Cerdas Digital yang diinisiasi oleh Meta bersama komunitas Keluarga Kita. Di tahun keduanya, program ini menyasar ibu dan orang tua dengan menyediakan lokakarya literasi digital. Fokusnya bukan hanya pada aturan, tapi pada pemahaman dan pendampingan.
Dalam kesempatan acara peluncuran Cerdas Digital 2025 pada Rabu lalu, Meta dan komunitas Keluarga Kita, memberikan beberapa panduan praktis yang bisa Kawan Puan lakukan, antara lain:
1. Manajemen waktu layar
Seorang ibu perlu belajar menetapkan durasi penggunaan perangkat yang seimbang dan konsisten, misalnya dengan membuat jadwal harian yang disepakati bersama anak. Tidak hanya itu, ibu juga dilatih untuk membaca pola kebiasaan digital anak, seperti aplikasi yang sering digunakan, waktu paling aktif, dan alasan anak menggunakan gadget, tanpa bersikap menghakimi. Pemahaman ini membantu orang tua lebih bijak dalam menentukan kapan saatnya mengingatkan anak untuk beristirahat dari layar.
2. Mencegah kontak asing
Para orang tua diharapkan dapat memahami berbagai fitur pengamanan di media sosial, seperti pengaturan privasi, pembatasan siapa yang bisa mengirim pesan langsung (DM), hingga fitur pelaporan akun mencurigakan. Ibu juga belajar mengenali tanda-tanda awal eksploitasi, seperti anak yang tiba-tiba menarik diri, mendapat pesan dari akun anonim, atau menyembunyikan aktivitas daringnya. Strategi preventif ini memberi bekal nyata agar ibu mampu melindungi anak sebelum risiko berkembang.
3. Membangun komunikasi terbuka
Menekankan pentingnya menciptakan suasana aman bagi anak untuk bercerita. Ibu dilatih untuk memulai percakapan dengan pendekatan empatik dan terbuka, bukan dengan interogasi, tetapi dengan ketulusan mendengar. Topik seperti apa yang membuat anak nyaman atau tidak di internet, siapa yang biasa mereka ajak bicara, dan bagaimana perasaan mereka saat melihat konten tertentu, menjadi pintu masuk untuk membangun kepercayaan dan keterbukaan yang berkelanjutan.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Democratic Parenting dan Penerapannya dalam Mengasuh Anak
Najelaa Shihab, pendidik dan pendiri Keluarga Kita, menekankan bahwa perlindungan digital bukan semata soal teknologi, melainkan relasi. “Keluarga perlu memperkuat hubungan, menumbuhkan disiplin, dan terlibat secara efektif dalam perjalanan digital remaja kita,” ungkapnya.
Sayangnya, banyak dari kita justru terjebak dalam pendekatan larangan. Karena merasa tidak paham, kita memilih memutus akses anak terhadap internet, dengan harapan itu akan menghindarkan mereka dari bahaya.
Namun, studi dari Pew Research Center tahun 2022 menyebutkan bahwa, anak-anak yang merasa dikekang justru cenderung menyembunyikan aktivitas digital mereka, yang tentu lebih berisiko. Di sinilah pentingnya menggeser pendekatan dari "melarang" ke "mendampingi".
Salah satu peserta pada acara Cerdas Digital, Ibu Dwi, menceritakan bagaimana awalnya ia merasa kesal karena anaknya terus-terusan bermain game online. Setelah mengikuti sesi, ia mulai berdiskusi dengan anaknya tentang game yang dimainkan.
Ternyata, sang anak bermain karena ingin lebih banyak berbincang dengan temannya di luar jam sekolah. Kini, anak dan ibu itu membuat kesepakatan digital mingguan, bukan aturan sepihak.
Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa literasi digital bukan hanya soal teknologi, tapi soal koneksi di dunia nyata. Perempuan memiliki kemampuan alami untuk membangun kedekatan, empati, dan komunikasi, tiga hal yang sangat dibutuhkan di era ini.
Selain itu, banyak fitur digital kini dirancang untuk mendukung peran perempuan dalam pendampingan anak. Fitur Akun Remaja, misalnya, hadir secara otomatis untuk pengguna di bawah 18 tahun. Namun, semua itu tetap akan efektif bila dibarengi dengan keterlibatan aktif kita di rumah.
Dengan begitu, perempuan bukan sekadar pelindung yang menjaga dari luar, tetapi juga rekan tumbuh yang hadir di samping. Kawab Puan tidak harus menjadi ahli teknologi untuk menjadi pendamping digital yang bijak. Cukup dengan bersedia belajar, bertanya, dan berjalan bersama.
Kini, saatnya kamu mengambil peran itu. Mari ubah paradigma dari larangan menjadi literasi, dari pengawasan menjadi pendampingan. Dunia digital bukan musuh, melainkan ruang baru yang bisa menjadi tempat anak-anak kita berkembang.
Baca Juga: Mengenal Fitur Akun Remaja Instagram, Menjaga Remaja di Dunia Digital
(*)
Celine Night