3 Perempuan Pejuang Hak Tanah yang Layak Dijuluki sebagai Kartini Kini

Arintha Widya - Senin, 21 April 2025
3 Perempuan yang tak gentar perjuangkan hak tanah mereka.
3 Perempuan yang tak gentar perjuangkan hak tanah mereka. Kolase Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Lahir di tengah keluarga petani, bertani telah menjadi bagian dari kehidupan Tiomerli sejak kecil. Baginya, kegiatan bertani sungguh menyenangkan, karena ada harapan tanaman itu akan tumbuh dengan baik. Itulah kenapa hatinya begitu hancur, ketika tanah yang selama lebih dari 20 tahun menjadi tempatnya bergantung terancam diambil untuk area perkebunan.

"Lebih dari 700 orang datang untuk menghancurkan tanaman dan rumah, 16 unit ekskavator diturunkan pula. Tanpa ingat rasa takut, kami berlari mencegat dan memanjat ekskavator, mencegah mereka menghancurkan semua. Tanah ini adalah kehidupan kami, hasil tani ini untuk menyekolahkan anak-anak kami," tutur kata Tiomerli dengan suara bergetar menahan tangis.

Ia bercerita, Pematangsiantar, Sumatra Utara, dulunya merupakan perkampungan orang tuanya. Pada 1969 lahan mereka diambil dan dijadikan perkebunan, hingga kemudian pada 2004 HGU perkebunan tersebut habis masa berlakunya. "Karena HGU perkebunan tidak diperpanjang, masyarakat bersama-sama mengklaim lahan ini untuk menjadi tempat tinggal dan lahan pertanian. Jalan sudah dibangun, begitu juga dengan masjid dan gereja," serunya.

Kehidupan mereka aman dan tenteram, hingga pada 2022 perusahaan perkebunan yang sama kembali mendapatkan HGU. Tanpa bertanya pada rakyat, perusahaan tersebut mengerahkan orang untuk merusak semua. Padahal, tidak semua keluarga yang rumah dan tanamannya dirusak tersebut menerima tali asih (semacam penggantian dalam bentuk uang).

Dua setengah tahun terakhir ini Tiomerli dan teman-teman sekampungnya hidup dengan sangat tidak nyaman. "Bahkan, bertani di pekarangan rumah saja tidak aman. Malam hari bisa dirusak orang. Begitu juga kalau kami pergi meninggalkan rumah. Ketika pulang, tanaman sudah dirusak juga," imbuhnya lagi.

Masyarakat di sana kini hanya berstatus petani, tapi tak bisa bertani lagi, hanya bekerja serabutan. Apa pun pekerjaan yang ada, akan dikerjakan, termasuk bongkar muat bahan bangunan dan menenun. Padahal, sebelumnya masyarakat di sana hidup dengan guyub dalam bertani. Ketika Tiomerli menanam jagung, ia mengajak teman-temannya untuk bantu menanam. Begitu juga ketika temannya menanam, Tiomerli ikut membantu.

Perjuangan untuk mendapatkan hak tanah masih terus berlanjut. Tiomerli masih dipercaya menjadi Ketua Sepasi (Serikat Petani Sejahtera Indonesia). Tugasnya sebagai Ketua Sepasi adalah merangkul teman-temannya supaya kuat berjuang.

"Tanah ini memang tanah negara. Tetapi, kami masyarakat Indonesia juga berhak atas tanah negara. Itulah semangat yang selalu saya berikan kepada kawan-kawan untuk bertahan hidup di sini. Hidup kami memang agak sulit. Tapi, kalau pindah, akan pindah ke mana? Kalau diberi tali asih 30 juta rupiah, bisa pindah ke mana, mau bekerja apa?" Kisahnya, tak bisa menahan air mata.

Berbagai jalan telah ditempuh oleh Sepasi. Mereka mendatangi berbagai pihak, mulai dari Walikota Pematangsiantar, Polres, Kanwil Medan, Komisi II DPR RI, juga Komnas HAM. Komnas HAM turun ke lapangan, mengevaluasi situasi, dan sudah mengeluarkan surat agar perusahaan perkebunan itu menghentikan dahulu kegiatannya, karena dinilai telah melakukan pelanggaran HAM.

Penulis:
Editor: Arintha Widya