Baca Juga: Tambah Penghasilan, Ini Peluang Bisnis Menguntungkan untuk Perempuan Mandiri
Melihat keberanian Wati, perempuan di kampungnya seperti tertular. Wati pun mulai mengumpulkan mereka setiap kali ada kesempatan. Berbekal pengetahuan yang ia miliki, ia memberi pemahaman soal hak tanah bagi perempuan, selalu mengingatkan tentang pentingnya memperjuangkan hak tanah.
"Supaya mudah mengumpulkan mereka, saya membuat pengajian, seperti yasinan keliling. Jadi, sebelum yasinan, saya bicara dahulu dengan ibu-ibu. Bahwa perjuangan ini bukan perjuangan laki-laki, perempuan harus terlibat. Tapi, ketika mengadakan aksi di bawah terik matahari, perempuan, mah, di rumah saja. Kasihan, kan, kalau ada anak yang ikut," cerita Wati.
Tak hanya diberi pemahaman, ibu-ibu tersebut juga belajar berpikir, berpidato, berbicara di depan umum, belajar tentang ilmu-ilmu tanah, tentang kenapa harus memohon tanah. Wati sendiri belajar tentang hak dasar atas tanah dari suami, yang kerap mendapatkan pelatihan dan pendidikan dari pendamping seperti KPA.
Wati berjuang bersama dalam wadah bernama SPP (Serikat Petani Pasundan). Menariknya, sejak awal berdiri, SPP menempatkan perempuan dengan hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki. Wati mencontohkan, ketika proses reclaiming tanah, sudah langsung tertera nama suami dan istri. Dalam reclaiming itu diatur batasan bidang tanahnya.
"Semisal, ada seorang istri mendaftar dan memohon dua persil (sebidang tanah dengan batasan tertentu). Nama istri dan nama suami sama-sama terdaftar. Ada juga ibu-ibu yang mendaftar dua persil dengan namanya sendiri, sementara suaminya tidak mau terdaftar, karena takut didatangi polisi," tuturnya mengisahkan.
Sejauh ini, wilayah Banjaranyar 2 dan area persawahan 2 sudah mendapatkan sertifikat tanah, karena musuhnya sudah tidak ada. Sementara itu, Banjaranyar 1 dan persawahan 1 masih berjuang untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Di Banjaranyar 2, SPP sudah membangun sekolah tingkat PAUD, SMP, SMK, dan pesantren.
Wati menambahkan, "Karena ada sekolah, pemerintah jadi ikut membantu, misalnya dalam hal bangunan. Awalnya dana pembangunan sekolah didapat dari iuran warga.
Bagi yang masih berjuang untuk mendapatkan hak tanah, Wati berpesan, "Jangan takut akan kebenaran. Walaupun perjuangannya memang tidak segampang itu, hasilnya indah."
3. Luh Sumantri - Dua dekade menanti keadilan
Baca Juga: Jadi Ibu Berdaya, Perempuan Ini Buktikan Sukses dari Affiliate Produk Mainan Anak
/photo/2025/04/21/luh-sumantri-bersama-produk-yang-20250421091615.jpg)
Diminta kembali pulang ke Bali setelah bertahun-tahun hidup sebagai transmigran di Timor Timur (kini Timor Leste), Sumantri dan teman-temannya tidak memiliki hak tanah di negerinya sendiri. Selama 21 tahun tinggal lagi di Desa Sumberklampok, Buleleng, selama itu pula eks transmigran Timor Timur mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak tanah. Hingga kini permohonan itu belum dikabulkan.
"Berbeda sekali ketika kami masih tinggal di Timor Timur. Di sana tanah garapan kami lebih luas, dan mudah sekali mencari pekerjaan di ladang. Proses kepemilikan lahan juga mudah. Seiring berjalannya waktu kami tinggal di sana, pemerintah Timor Timur langsung menerbitkan sertifikat tanah, tanpa perlu kami ajukan permohonan," ujar Luh Sumantri.
Sementara itu, di tanah kelahirannya sendiri, Sumantri sudah memohon sangat lama, tapi belum juga mendapatkan sertifikat. Ia bercerita, sejauh ini baru lahan pekarangan saja yang mendapatkan sertifikat, lahan garapannya belum.
Berita baiknya, perjuangan untuk mendapatkan hak tanah di Bali berbeda dari teman-teman mereka di luar Bali. Tidak pernah ada larangan untuk menggarap lahan. Tidak pernah ada kasus menggusur tanaman atau rumah. "Tidak ada yang merusak tanaman kami. Hanya saja, hak kepemilikan tanah itu belum juga diberikan," tuturnya.
Dengan pendampingan KPA, Luh Sumantri dan teman-teman eks transmigran Timor Timur, melakukan pemetaan partisipatif. Mereka harus mengulang lagi pengajuan permohonan untuk lahan garapan, padahal sebelumnya sudah diajukan bersamaan dengan lahan pekarangan. Tak hanya itu, mereka juga melakukan unjuk rasa secara damai. Sepulang dari Timor Timur, suami Sumantri, I Nengah Kisid, sempat menempati gedung DPR Provinsi untuk meminta keadilan.
Selama ini pemerintah menempatkan mereka di kawasan hutan produksi, yang lahannya bisa digarap untuk pertanian. Selain itu, untuk menambah penghasilan, mereka juga beternak sapi, sebagian juga yang beternak babi. Masing-masing kepala keluarga menggarap 50 are (sekitar 5.000 meter persegi). Sedangkan permohonan atas kepemilikan tanah yang diajukan adalah seluas 136,94 hektar untuk 107 kepala keluarga.
Di lahan garapan yang lokasinya tidak jauh dari rumah, mereka menanam tanaman musiman. Cabai, kacang, jagung, tidak dibawa ke pasar. Ada tengkulak yang membeli dengan harga cukup fair. Sementara itu, lahan pekarangan seluas 4 are ditanami tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Sumantri tak berhenti mendampingi suaminya, yang sejak kembali dari Timor Timur terus memimpin perjuangan tersebut. Setiap kali menghadap pemerintah, Kisid tidak mau dihadapkan pada peraturan pemerintah yang menurutnya tidak terkait dengan masalah yang mereka hadapi. "Suami saya meminta pemerintah agar bijak dalam menyelesaikan kasus pengungsi eks Timor Timur. Kalau mengacu pada peraturan, pasti tidak ada yang nyantel," jelasnya.
Hidup Sumantri saat ini bisa dibilang sejahtera, tetapi hatinya resah karena tidak punya sertifikat kepemilikan tanah. Ia khawatir akan status tanah yang mereka tempati, karena ada keturunan yang tinggal di sana juga.
"Kami tidak pernah tahu kebijakan pemerintah nanti. Beda pemimpin, beda kebijakan. Kami berharap, melalui program-programnya, pemerintah sekarang bisa berpihak pada rakyat. Semoga mereka berkomitmen untuk menyelesaikan kasus eks transmigran Timor Timur," tutup Luh Sumantri.
Baca Juga: Perempuan Berdaya dengan Investasi, Ini Cara Buka Tabungan Emas di Pegadaian
(*)