Parapuan.co - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengkritik perusahaan media di Indonesia yang masih membuat pemberitaan yang tidak sensitif gender.
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Ika Ningtyas mengkritik hal tersebut dalam konferensi pers virtual untuk memperingati Hari Perempuan Internasional, Senin (8/3/2021).
Konferensi pers tersebut diadakan oleh sejumlah organisasi peduli perempuan yang tergabung dalam GERAK Perempuan melalui aplikasi konferensi video Zoom.
Ika menyorot kudeta militer di Myanmar pada 1 Februari 2021 yang berdampak pada terjadinya kekerasan dan demonstrasi di negara tersebut sampai sekarang.
Demonstrasi bahkan sampai menelan korban jiwa dari pihak warga sipil yang tidak sedikit.
Kompas.com menyebutkan bahwa salah satu demonstran yang tewas adalah aktivis perempuan Myanmar, Kyal Sin (19), yang tertembak di kepala pada Rabu (3/4/2021).
Ika menyayangkan berita peristiwa yang nahas tersebut dituliskan dengan cara yang tidak elok oleh sejumlah perusahaan media di Indonesia.
“Media di Indonesia banyak membuat pemberitaan yang judulnya ‘Demonstran Cantik Tewas’. Pemilihan judul yang seperti itu sangat bias gender (tidak sensitif gender),” kecam Ika dalam konferensi pers.
Adalah tidak pantas membawa-bawa kata “cantik” untuk disematkan dalam pemberitaan tragedi berdarah seperti itu.
Karena Masih Clickbait
Ika menilai bahwa kata “cantik”, “seksi”, maupun kata-kata sejenis lainnya yang kerap muncul pada judul berita tidak lepas dari clickbait.
Baca Juga: Awas Telat! 3 Makanan Ini Bisa Bikin Siklus Menstruasi Tidak Teratur
Clickbait sering dijadikan jurus andalan perusahaan media online untuk menarik banyak pembaca di internet.
Situs Edu.gcfglobal.org mengartikan clickbait sebagai headline yang sengaja dibuat sensasional untuk mendorong audiens mengklik suatu artikel, gambar, atau video secara online.
Ika menyesalkan masih adanya perusahaan media online yang mengandalkan clickbait dengan menggunakan kata-kata yang tidak sensitif gender demi mendapat banyak pembaca.
“Kedua kata itu, ‘cantik’ dan ‘seksi’, masih dipakai (dalam judul atau bodi berita) demi SEO (Search Engine Optimization). Ini dikapitalisasi untuk modal media. Tapi kan gila,” cecar Ika.
Baca Juga: Sering Dialami! Kenali Perilaku dan Dampak Seksisme untuk Perempuan
Melansir situs Chiefcontent.com, SEO adalah cara untuk mendapatkan visibilitas online untuk suatu situs.
SEO erat kaitannya dengan penggunaan kata kunci tertentu agar konten berita (artikel, video, atau gambar) bisa muncul di mesin pencari sesuai kata kuncinya.
Dengan demikian, masyarakat dapat menemukan konten berita yang dia mau dengan mengetik kata kunci tertentu.
Sementara, situs Entrepreneur.com menginformasikan bahwa SEO yang baik dapat menghasilkan uang bagi situs yang dikunjungi.
Baca Juga: Sama-sama Ditandai dengan Jerawat, Ini Dia Beda Antara Purging dan Breakout
Ini lantaran SEO yang baik memungkinkan orang untuk mengunjungi situs tertentu secara rutin, termasuk situs media.
Semakin banyak orang yang membuka situs tersebut, semakin banyak pula uang yang dapat dihasilkan situs.
Menyorot Kata “Digagahi”
Menurut Ika, judul dengan kata “cantik” atau “seksi” seperti itu hanyalah satu dari sekian banyak pemberitaan yang tidak sensitif gender di Indonesia.
Dia lalu mengkritik pemberitaan kasus pemerkosaan yang juga sering dituliskan secara tidak sensitif terhadap perempuan yang rata-rata menjadi korban.
Baca Juga: Berbahaya untuk Janin, 4 Bahan Makeup Ini Disebut Tidak Aman untuk Ibu Hamil
“Misal, kata ‘digagahi’ sering dipakai untuk berita korban pemerkosaan atau pelecehan seksual. Bayangkan, itu kasus pemerkosaan dan pelakunya dianggap gagah karena melakukan hal itu,” tutur Ika.
Bukan cuma tragis dan ironis, lanjut dia, kata “gagah” atau “digagahi” tersebut dapat memperburuk kondisi korban sehingga berpotensi menjadi korban untuk kesekian kalinya.
Maksudnya, setelah menjadi korban pemerkosaan, korban kemudian dapat menjadi korban pemberitaan tidak sensitif yang semakin memberatkan traumanya.
“Ketidakadilan gender masih terjadi. Budaya kita masih patriarkis. Pemberitaan kita masih tidak sensitif gender,” ujar Ika.
Baca Juga: Viral Aplikasi MyHeritage yang Bisa 'Menghidupkan' Kembali yang Mati, Begini Caranya
Publik Harus Kritis
Ika menilai bahwa masyarakat harus kritis dan cerdas dalam menanggapi pemberitaan yang tidak sensitif gender.
Menurutnya, sah-sah saja jika masyarakat memprotes langsung pemberitaan seperti itu.
“Protes langsung, bisa lewat media sosial Twitter atau dengan memberikan surat protes ke redaksi maupun dewan pers karena masyarakat merasa keberatan dengan judul berita,” jelas Ika.
Tanpa kritik masyarakat, perusahaan media tidak akan berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangannya.
Baca Juga: Rayakan Hari Perempuan Internasional dengan Quotes dari Tokoh Dunia Ini
Itulah kenapa, terang Ika, masyarakat turut berperan penting dalam membentuk media yang lebih baik.
“Media harus semakin sehat dan jangan bersikap tidak sensitif gender seperti ini,” pungkas Ika.
(*)