Parapuan.co - Peristiwa traumatis bisa memengaruhi semua aspek kesehatan, mulai dari kesehatan fisik hingga kesehatan mental lho, Kawan Puan.
Selain itu, peristiwa traumatis bisa meninggalkan bekas luka di beberapa area utama di otak yang bisa memberikan efek jangka panjanag bagi kesehatan dan fungsi otak tersebut.
Saat seseorang mengalami trauma, beberapa bagian otak dapat terkena dampak negatif dan membutuhkan waktu untuk pulih.
Baca Juga: Belum Banyak Orang Tahu, Apa Itu Water Birth? Bahayakah untuk Janin?
Melansir dari laman Bustle, berikut bagaimana trauma bisa mengubah cara kerja otak menurut ahli.
Trauma Membuat Amigdala Menjadi Super Aktif
“Amigdala adalah bagian otak yang mengontrol emosi, khususnya, ketakutan dan kemarahan,” kata Dr. Sanam Hafeez Psy.D., seorang ahli saraf.
Dr. Sanam menambahkan, seseorang yang mengalami trauma psikologis intens kemungkinan besar memiliki amigdala yang hiperaktif.
Artinya, meskipun tidak ada bahaya di sekitarnya, amigdala mungkin masih mengaktifkan respons fight (melawan) or flight (lari), dan menyebabkan seseorang itu seolah-olah sedang terancam.
Saat merasa sedang terancam, respon fight or flight membuat seseorang menjadi tegang dan waspada.
Baca Juga: Menunda Pekerjaan Berkaitan dengan Pengelolaan Emosi, Kok Bisa?
Akibatnya bisa berbentuk serangan panik, luapan emosi, perasaan agresi, atau stres yang terus menerus.
Amigdala yang terus aktif ini dapat menyebabkan stres dan kecemasan. Sehingga dapat mengubah strukur otak secara fisik.
Sebuah studi tahun 2020 yang diterbitkan dalam The Journal of Head Trauma Rehabilitation dilansir dari Bustle, menemukan bahwa veteran militer dengan gangguan stres pasca trauma lebih mungkin mengalami pembesaran amigdala daripada veteran yang tidak mengalami trauma.
Korteks Prefontal Berhenti Bekerja
"Trauma dapat berdampak signifikan pada sistem kimia saraf dan menyebabkan perubahan jangka panjang dalam cara otak seseorang berfungsi," kata Kira Vredenburg LMSW, seorang terapis di pusat perawatan kecanduan Sierra Tucson, dilansir dari laman Bustle.
Hal ini berkaitan dengan korteks prefrontal yang membantu mengatur emosi dan mengontrol reaksi amigdala.
Namun, amigdala mengacaukan kerja korteks prefrontal pada otak yang trauma.
Baca Juga: Stres Akibat Trauma Masa Lalu? 6 Cara Ini Bisa Membantumu Sembuhkan Luka Inner Child
Sebuah studi tahun 2015 yang diterbitkan dalam Neurobiology of Stress menunjukkan bahwa stres dan trauma kronis melemahkan korteks prefrontal dan mengurangi jumlah neuron yang aktif.
Kira menambahkan, hal ini dapat menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, membuat zona atau tidak merasa hadir sepenuhnya.
Selanjutnya, seseorang bisa merasa ada hambatan atau terputus antara mengenali emosi secara intelektual, atau mengidentifikasi emosi dalam situasi tertentu.
Hipokampus Tidak Bekerja dengan Baik
“Hipokampus adalah bagian otak yang memiliki kemampuan untuk melacak ingatan seseorang,” kata Dr. Hafeez.
Dampak trauma pada hipokampus dapat bervariasi, Kawan Puan.
Bagi sebagian orang, hipokampus dapat mengalami kesulitan untuk menyimpan ingatan lain sambil mempertahankan peristiwa traumatis yang begitu jelas.
Di sisi lain, hipokampus menghalangi sebagian atau semua dari memori traumatis.
Sebuah studi yang diterbitkan di Nature Communications pada tahun 2020 menemukan bahwa trauma sebenarnya memperkuat hubungan antara hipokampus dan amigdala, karena ingatan ketakutan semakin tertanam.
Baca Juga: Demi Lovato dan Ariana Grande Angkat Kisah Trauma Lewat Kolaborasi Lagu Baru
Meskipun orang yang trauma tidak dapat mengingat peristiwa itu sendiri, otak mereka menyimpan catatan yang jelas tentang pemicunya.
“Tidak ada cara khusus untuk menangani kerusakan yang terjadi pada otak akibat trauma psikologis,” kata Dr. Hafeez.
Kerusakan pada bagian otak seperti hipokampus dan amigdala akan menjadi semakin sulit untuk disembuhkan.
Seseorang yang mengalami trauma di masa kecil kemungkinan memiliki efek jangka panjang pada pertumbuhan otak dan kesehatan mental.
Namun, tidak ada kata terlambat untuk mendapatkan bantuan dan dukungan profesional. (*)