Karena Pandemi Covid-19 Banyak Orang Mengalami Cave Syndrome, Apa Itu?

Alessandra Langit - Minggu, 16 Mei 2021
Jika merasa takut jatuh cinta lagi, ini solusi untuk membuka hati.
Jika merasa takut jatuh cinta lagi, ini solusi untuk membuka hati. recep-bg

Parapuan.co - Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung membuat kita merasa lebih khawatir dibanding hari-hari sebelum virus corona datang.

Kekhawatiran tersebut seringkali berkembang menjadi ketakutan yang besar.

Setiap kali keluar rumah atau melihat orang yang tersayang harus pergi, kita cenderung merasa takut dan gelisah.

Ketakutan untuk keluar rumah yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 disebut sebagai fenomena cave syndrome atau sindrom gua.

Melansir dari Psychology Today, sindrom gua didefinisikan sebagai keengganan terus-menerus untuk meninggalkan keamanan rumah karena takut dengan risiko terinfeksi Covid-19 atau infeksi lanjutan saat pandemi mereda. 

Psikiater Alan Teo, menyamakan sindrom ini dengan sindrom hikikomori atau sindrom isolasi di Jepang, di mana terjadi ketakutan ekstrem dan masyarakat mengisolasi diri selama enam bulan atau lebih.

Sindrom gua terjadi di banyak tempat dan didukung dengan teknologi yang maju, kita jadi tidak perlu repot-repot keluar rumah. 

Baca Juga: Cara Menghadapi Sindrom Sarang Kosong, Kesedihan Berlebih Saat Anak Merantau

Michael Zeilinger, seorang penulis, membahas tentang hikikomori dalam bukunya pada tahun 2009, Shutting Out The Sun: Bagaimana Jepang Menciptakan Generasi Hilangnya Sendiri.

Michael menggambarkan orang-orang yang mengisolasi diri sebagai individu yang tinggal di kamar mereka selama bertahun-tahun pada suatu waktu, biasanya sangat bergantung pada keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. 

Sebagian besar atau semua individu ini pernah mengalami penindasan di masa kanak-kanak akibat ketakutan, kecemasan sosial, rasa malu, dan emosi lain yang membuat mereka terputus dari lingkungan sosial. 

Dengan upaya pemulihan kesehatan mental, Michael menggambarkan bagaimana beberapa penderita hikikomori dapat kembali ke masyarakat. 

Tetapi hal tersebut memang membutuhkan perhatian khusus dari para profesional dan anggota komunitas yang peduli.

Mereka yang mengalami trauma atau rasa takut akan kekerasan dan infeksi penyakit tertentu, memiliki alasan yang kuat untuk mengisolasi diri. 

Hal tersebut adalah beban psikis yang harus ditangani secara sadar oleh individu, media, sistem kesehatan, komunitas, dan upaya pemerintah. 

Kehadiran trauma dan ketakutan tersebut menimbulkan pertanyaan, “Seberapa baik kita menjaga satu sama lain?” “Seberapa baik kita bisa menjaga diri sendiri?” dan "Bagaimana kita bisa lebih merawat mereka yang paling rentan terhadap infeksi virus atau kekerasan?”

Sindrom gua ini adalah fenomena yang diprediksi akan dihadapi oleh banyak orang selama pandemi berlangsung dan pasca pandemi.

Baca Juga: Imposter Syndrome Bisa Mempengaruhi Kehidupan, Ini Penjelasan Logisnya

Banyak orang menyepelekan perasaan takut mereka karena memang wajar untuk merasa takut dalam keadaan seperti pandemi Covid-19.

Namun, jika ketakutan itu telah berubah menjadi kecemasan terus-menerus, maka melakukan terapi adalah solusinya.

Kawan Puan, saat ini yang bisa kita lakukan untuk meredakan ketakutan tersebut adalah dengan menjaga satu sama lain, mengikuti arahan WHO dan pedoman kesehatan setempat.

Jangan lupa untuk menggunakan akal sehat dan empati kita dalam melakukan aktivitas, mendapatkan vaksinasi segera, dan memakai masker setiap kali keluar rumah. (*)

Sumber: Psychology Today
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri

BERITA TERPOPULER WELLNESS: Rangkaian Acara Hari Tari Dunia 2024 di Solo hingga Hal Penting Soal Bronkitis Kronis