Parapuan.co - Sosok Lady Gaga ternyata pernah mendapat kekerasan seksual saat dirinya berusia 19 tahun.
Seorang produser musik memperkosanya hingga hamil, namun kemudian tak bertanggung jawab dan meninggalkannya.
Kekerasan seksual berupa pemerkosaan itu Lady Gaga alami ketika dirinya sudah bekerja aktif di industri hiburan.
Baca Juga: Becermin dari Kasus Lady Gaga, Mengapa di Industri Hiburan Kerap Terjadi Kekerasan Seksual?
Konon, sang produser mengancam akan membakar seluruh karya musik Lady Gaga, jika ia tak mau menuruti keinginannya.
Hal ini ia ceritakan ketika menjadi bintang tamu dalam episode pertama series The Me You Can't See yang dipandu oleh Oprah Winfrey dan Pangeran Harry di Apple TV+.
Akibat dari kekerasan seksual itu, Lady Gaga harus berjuang menyembuhkan dirinya dari post-traumatic stress disorder atau PTSD yang merupakan gangguan stres pascatrauma.
PTSD adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan.
"Aku mengalami gangguan psikotik total. Selama beberapa tahun, aku bukan perempuan yang sama.
"Rasa sakit yang kurasakan di tubuh berasal dari trauma setelah kejadian pemerkosaan. Aku menjalani begitu banyak MRI dan scan untuk menemukan letak sakitnya.
"Namun dokter tidak menemukan apa-apa. Rasa sakit itu berasal dari ingatan tubuhku," cerita Lady Gaga ketika mengingat kejadian buruk yang pernah ia alami di masa lalu, seperti dikutip dari BBC News.
Melihat kejadian yang dialami oleh Lady Gaga, daftar kejadian kekerasan seksual di industri hiburan pun makin bertambah.
Kita semua tahu kalau kekerasan seksual menjadi salah satu bagian dari industri hiburan.
Sering kali, perempuan menjadi korban kekerasan seksual, meski tidak menutup kemungkinan laki-laki jadi korban.
Para pelaku kekerasan seksual di industri hiburan memberikan ancaman yang membuat posisi korban tersudut, sehingga tidak bisa mengelak maupun menolak.
Contohnya adalah ancaman yang berhubungan dengan karya atau karier pekerja perempuan di industri hiburan, seperti yang dialami oleh Lady Gaga.
Baca Juga: Diperkosa hingga Hamil di Usia 19 Tahun, Lady Gaga Ungkap Masa Lalunya
International Labour Organization atau ILO pernah membeberkan beberapa penyebab yang menjadi alasan para penyintas kekerasan seksual di industri hiburan tidak melaporkan kejadian yang mereka alami.
Kebanyakan mengaku bahwa profesionalitas dan kekhawatiran mengenai kelanjutan karier di masa depan menjadi alasan mereka tidak melaporkan kejadian kekerasan seksual yang dialami.
ILO menyebut dalam Policy Brief on Sexual Harassment in The Entertainment Industry, yang dirilis bulan November 2020, bahwa ketakutan akan dampak negatif profesionalisme pada karier pekerja adalah alasan utama korban untuk tidak melaporkan insiden pelecehan seksual.
Hal ini memang benar karena memang pemberi kerja dapat mengabaikan kasus kekerasan seksual dan mengancam memasukkan mereka ke dalam daftar hitam.
Di samping itu, survei dalam jurnal Facing (and fixing) the Problem of Sexual Harassment in Theater tahun 2018 yang dilakukan terhadap seniman profesional, perusahaan teater, dan departemen teater perguruan tinggi serta universitas di Amerika Serikat menyebutkan bahwa sebagian besar korban tidak melapor karena takut akan dampak profesional.
Mereka takut kariernya berhenti dan melaporkan kejadian kekerasan seksual adalah reaksi berlebihan yang akan mengancam kariernya di industri hiburan.
Hasil survei tersebut didukung pula oleh temuan dari penelitian kelompok Cultural Diversity: Opportunities and Socialization (CuDOS) terhadap pekerja sektor budaya dan media di Belgia tahun 2018, di mana para korban kekerasan seksual memilih tidak melapor karena takut akan konsekuensi terhadap karier mereka.
Pada akhirnya, alasan karier dan profesionalisme di masa depan, jadi penyebab utama penyintas kekerasan seksual di industri hiburan tidak melapor.
Hal ini tentu sangat merugikan dan harus segera kita ubah bersama. (*)