Parapuan.co - Sampai saat ini pandemi virus corona masih terus melanda Indonesia.
Bahkan sampai saat artikel ini ditulis, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia tercatat sudah mencapai 1.837.126 orang.
Jumlah ini terhitung sejak diumumkannya kasus pasien pertama pada 2 Maret 2020 lalu.
Dari data tersebut, sebanyak 51.095 pasien meninggal dunia.
Sedangkan sisanya yaitu sekitar 1.691.593 telah dinyatakan sembuh.
Lalu kasus aktif Covid-19 di Indonesia saat ini adalah sebayak 94.438.
Namun, sebuah media asing justru menyampaikan fakta mengejutkan soal kasus Covid-19 yang ada di Indonesia.
Baca Juga: Waspada, Covid-19 Meningkatkan Risiko Infeksi Jamur Hitam Seperti yang Terjadi di India
Mengutip dari Reuters, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia jauh lebih banyak dari angka resmi yang telah ditunjukkan.
Seperti diketahui, Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia.
Negara berpenduduk 270 juta ini telah mencatat 1,83 juta kasus positif, tetapi para ahli epidemiologi telah lama percaya bahwa skala sebenarnya dari penyebaran telah dikaburkan oleh kurangnya pengujian dan pelacakan kontak.
Hasil studi seroprevalensi besar pertama di Indonesia - yang menguji antibodi - diungkapkan secara eksklusif kepada Reuters.
Satu studi nasional antara Desember dan Januari menunjukkan 15% atau sekitar 40 juta orang Indonesia telah tertular Covid-19.
Data ini muncul ketika angka resmi dari pemerintah pada akhir Januari mencatat infeksi di antaranya hanya sekitar 0,4% orang atau sekitar 1 juta orang.
Bahkan saat ini total infeksi positif di Indonesia baru sekitar 0,7% dari jumlah penduduk.
Pandu Riono, seorang ahli epidemiologi Universitas Indonesia yang bekerja pada penelitian yang dilakukan dengan bantuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan hasil survei tidak terduga diberikan di bawah pelaporan.
Siti Nadia Tarmizi, seorang pejabat senior kementerian kesehatan, mengatakan studi itu mungkin masih awal, tetapi mungkin ada lebih banyak kasus daripada yang dilaporkan secara resmi karena banyak kasus tidak menunjukkan gejala.
Dia mengatakan Indonesia memiliki pelacakan kontak yang rendah dan kurangnya laboratorium untuk memproses tes.
Baca Juga: Jangan Ragukan Vaksin, Kasus Covid-19 di Kota ini Turun Drastis Pasca Vaksinasi 75 Persen Warganya
Berdasarkan tes darah, studi seroprevalensi mendeteksi antibodi yang muncul pada orang yang kemungkinan besar sudah terjangkit penyakit tersebut.
Angka resmi sebagian besar didasarkan pada tes swab, yang mendeteksi virus itu sendiri dan hanya mengungkapkan mereka yang memilikinya pada saat itu.
Antibodi berkembang satu sampai tiga minggu setelah seseorang tertular virus dan tinggal di dalam tubuh selama berbulan-bulan.
PENGUJIAN LEMAH
Studi seroprevalensi di negara lain, termasuk di India, juga mengungkapkan infeksi yang lebih luas.
"Sistem surveilans resmi kami tidak dapat mendeteksi kasus Covid-19. Ini lemah," kata peneliti utama studi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, seperti dikutip dari Reuters.
Meski begitu Tri Unis mengaku tidak berwenang untuk mengkonfirmasi angka tersebut.
"Pelacakan kontak dan pengujian di Indonesia sangat buruk dan menjelaskan mengapa begitu sedikit kasus yang terdeteksi," tambahnya.
Sedangkan Pandu mengatakan bahwa meskipun studi tersebut menunjukkan penyebaran virus yang lebih luas, Indonesia tampaknya masih jauh dari mencapai kekebalan kelompok.
Sehingga hal ini menjadikannya prioritas untuk mempercepat vaksinasi.
Hanya 6% dari 181 juta penduduk Indonesia yang ditargetkan telah divaksinasi lengkap dengan dua dosis sejauh ini, sementara 9,4% telah mendapat satu suntikan, menurut data pemerintah.
Hasil awal dari studi seroprevalensi terpisah di Bali, yang dilakukan oleh Universitas Udayana, menemukan 17 persen dari mereka yang diuji pada bulan September dan November tampaknya telah terinfeksi, kata peneliti utama Anak Agung Sagung Sawitri kepada Reuters.
Itu 53 kali lebih tinggi dari tingkat infeksi berdasarkan kasus yang tercatat secara resmi pada saat di pulau wisata itu.
Padahal Bali sendiri berencana mulai dibuka kembali untuk pengunjung internasional bulan depan.
Pembukaan kembali ini ditentang oleh beberapa pakar kesehatan masyarakat, termasuk akademisi dan dokter Ady Wirawan.
“Testing, tracing, isolasi dan karantina sangat-sangat lemah di Bali,” ujarnya. (*)