Parapuan.co - Kesehatan seksual dan reproduksi perempuan hingga kini masih menjadi topik yang tabu untuk dibicarakan.
Kurangnya pembahasan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi perempuan membuat masih banyak masyarakat di Indonesia yang tak tahu jika perkawinan usia dini menyebabkan masalah pada organ reproduksi, khususnya perempuan.
Perkawinan anak atau remaja bukan hanya mengancam kesehatan seksual dan reproduksi anak, tapi juga merenggut hak-hak asasi anak.
Di era serba modern seperti sekarang, perkawinan anak masih saja marak dilakukan di Tanah Air.
Baca Juga: IJF EVAC: Perkawinan Anak adalah Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
Data dari UNICEF menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, angka perkawinan anak di Indonesia memang mengalami penurunan 3,5 persen.
Namun, angka ini masih terbilang kecil untuk mencapai target 8,74 persen pada tahun 2024.
Serta untuk memenuhi target menjadi 6,94 persen pada tahun 2030 mendatang.
Indonesia pun dinobatkan sebagai negara ke-37 dengan persentase perkawinan anak tertinggi di dunia menurut UNDESA pada 2010.
Mengutip laman resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), perkawinan anak dapat berdampak pada terganggunya kesehatan reproduksi, hingga menyebabkan kanker serviks atau kanker leher rahim.
Sayangnya, baik anak maupun orang tua, tak seluruhnya mengetahui dampak ini.
Apa lagi mereka yang berada di luar daerah perkotaan, mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, dan mereka yang berada dalam status sosioekonomi rendah.
Pada beberapa kondisi tersebut, perkawinan anak masih dianggap sebagai solusi untuk mencegah pergaulan bebas, menghindari diri dari dosa.
Bahkan perkawinan anak sering dilandasi oleh faktor ekonomi.
Baca Juga: Angka Perkawinan Anak di Indonesia Masih Tinggi, Alissa Wahid: Media Sosial Turut Andil
Padahal, masyarakat semestinya menyadari kalau perkawinan anak berdampak buruk pada kesehatan reproduksi.
Merujuk studi pada Jurnal Pengabdian dan Penelitian Kepada Masyarakat (JPPKM) tahun 2021, dampak perkawinan anak pada kesehatan reproduksi cukup beragam.
Salah satunya, organ reproduksi dan fisik pada remaja yang belum matang akan berdampak pada kehamilan.
Risiko cacat lahir pada bayi di masa kehamilan remaja sangatlah tinggi.
Kondisi leher rahim remaja yang masih sensitif juga meningkatkan risiko kanker serviks pada remaja.
Lebih parahnya lagi, proses persalinan pada kehamilan usia muda berisiko tinggi menyebabkan kematian pada ibu.
Studi ini pun menyebutkan jika remaja yang mengalami kehamilan sangat rentan mengalami anemia.
Adapun anemia pada ibu hamil bisa berbahaya bagi janin.
Baca Juga: Banyak Jadi Pertanyaan Perempuan, Bisakah Kelahiran Prematur Dicegah?
Ibu dapat mengalami keguguran, bayi lahir prematur, bahkan hingga kematian pada bayi.
Dilansir dari UNICEF, bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun 2 kali lebih berisiko meninggal selama 28 hari pertama sejak kelahiran, jika dibandingkan bayi yang lahir dari ibu berusia 20-29 tahun.
Pada akhirnya, perkawinan anak dan remaja bukanlah solusi yang tepat untuk menghindari perilaku seks bebas di kalangan remaja.
Perkawinan di usia remaja justru terbukti menyebabkan permasalahan lanjutan pada aspek kesehatan, pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Semestinya, anak dan remaja diberikan akses pada pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang mumpuni agar anak dan remaja lebih paham konsekuensi dari setiap aktivitas seksual.
(*)