Parapuan.co - Mungkin banyak orang yang berpikir bahwa pakaian hanya dipakai untuk menunjang dan mempercantik penampilan.
Namun tahukah Kawan Puan bahwa sebenarnya, tanpa disadari oleh banyak orang, fashion telah digunakan oleh perempuan dari masa ke masa sebagai alat feminis untuk menggaungkan kesetaraan.
Mulai dari mengenakan celana pertama kali untuk melawan maskulinitas, mengenakan pakaian warna tertentu sebagai simbol perlawanan, hingga rambut bob sebagai cara mengekspresikan diri.
Melansir dari Bustle, ini dia bagaimana para perempuan menggunakan fashion sebagai alat menggaungkan kesetaraan.
1800-an: Mengenakan Celana Pertama Kali
Pada tahun 1800-an, perempuan dibebankan untuk harus mengenakan korset yang bisa menunjukkan lekuk tubuh dan rok yang berat serta sangat tidak nyaman, dengan anggapan lebih menarik di mata laki-laki.
Namun di tengah opresi tersebut, Amelia Bloomer, seorang advokat hak-hak perempuan dan editor surat kabar feminis pertama, The Lily, memutuskan untuk mengenakan celana.
Apa yang dilakukannya Bloomer pun menyebabkan histeria di masyarakat karena dianggap bisa merampas hak laki-laki dan ketidakstabilan identitas gender.
Baca Juga: 5 Gaya Artis Indonesia Rayakan Hari Perempuan Internasional, Modis!
Sejak saat itu, celana pun menjadi simbol gerakan hak perempuan, karena rok yang panjang telah membuat perempuan direnggut kebebasannya untuk merasa nyaman dan dianggap hanya sebagai objek seksual.
"Itu (celana) menjadi simbol upaya perempuan untuk berubah. Walaupun ini mendapatkan reaksi negatif karena perempuan dinilai menantang laki-laki dan maskulinitas," ujar Rebecca Arnold, Dosen Senior Sejarah Pakaian di The Courtauld Institute.
1900-an: Warna Hak Pilih
Kelompok suffragettes, perempuan yang menuntut hak pilih, selain kerap melakukan marching dan protes di jalanan, juga mengidentifikasi diri sebagai feminis di luar demonstrasi dengan cara yang berbeda di tahun 1900-an.
Yaitu mengenakan sesuatu dengan tiga warna simbolis seperti hijau, putih dan ungu.
Ungu mewakili martabat, putih menunjukkan kemurnian dan hijau berarti harapan.
"Fakta bahwa warna-warna ini masih dapat dikenali sebagai warna Suffragette menunjukkan betapa suksesnya mereka menggunakannya sebagai simbol politik untuk menunjukkan dan mempromosikan tujuan mereka," ujar Arnold lagi.
Para suffragettes kerap menyematkan pita dengan warna-warna tersebut di topi, ikat pinggang, ke mantel hingga kerah pakaian mereka.
Baca Juga: Penuh Makna, Ini Warna yang Bisa Kamu Pakai saat Hari Perempuan Internasional
1920-an: Rambut Bob
Simbol feminitas kerap digambarkan dengan perempuan berambut panjang.
Namun simbol tersebut perlahan mulai mengalami perubahan di era 20-an, seperti yang dilaporkan oleh Outlook Magazine di tahun 1922.
Rambut bob bukan hanya digambarkan sebagai cara untuk menghadirkan penampilan baru, tapi juga menyimbolkan sesuatu yang lebih bermakna.
Yaitu melambangkan perkembangan, kewaspadaan, up-to-date, hingga bagian dari ekspresi semangat seorang perempuan.
Pada era tersebut, perempuan-perempuan berambut bob pun digambarkan sebagai perempuan yang mendambakan kebebasan dan simbol emansipasi.
Kendati demikian, rambut bob sebagai simbol feminis ini tak serta merta diterima oleh masyarakat.
Banyak perusahaan yang akhirnya memecat perempuan yang tetap bersikeras memangkas rambutnya dengan model bob.
Baca Juga: Sedang Tren, Ini 5 Pilihan Gaya Rambut Bob yang Bisa Kamu Coba
"Faktanya adalah rambut bob benar-benar membuat orang kesal pada era itu," ujar Victoria Pass, seorang profesor di Universitas Salisbury di Maryland.
Disampaikan oleh Pass bahwa saat itu, memotong rambut pendek, tidak serta merta mengubah perempuan menjadi lebih bebas.
Namun ini menjadi simbol yang kuat untuk perempuan modern, terutama di era pasca Perang Dunia I.
1930-an: Setelan
Tahun 1930-an adalah momen turning point bagi perempuan karena akhirnya bisa terlibat dalam dunia kerja dan ruang publik.
Hal ini pun membuat Coco Chanel terinspirasi untuk mendesain pakaian yang bisa merepresentasikan kebutuhan perempuan saat itu, yaitu dengan menciptakan pakaian bermodel setelan.
“Dia (Coco Chanel) mendesain pakaian yang canggih namun tetap elegan, nyaman. Simbol dari ideal ini adalah two piece suit, yang diciptakan Coco dengan mengambil inspirasi langsung dari jas para kekasihnya,” jelas penulis Vogue, Sara Bimbi.
Chanel kerap disebut sebagai rumah mode pertama yang membuat setelan untuk perempuan, namun sebenarnya jenis pakaian tersebut sudah lama dikenakan sebelum akhirnya dibuat dengan versi yang lebih feminin.
Baca Juga: Tak Pakai Gaun Merah, Intip Gaya Baru Minnie Mouse dengan Setelan Celana Panjang
Meski bukan yang pertama, Chanel turut berkontribusi mengubah status perempuan menjadi lebih berkelas melalui pakaian.
1960-an: Rok Mini
Sebelumnya, perempuan yang bermartabat kerap dinilai dari cara berpakaian yang anggun, tidak lebih pendek dari lutut.
Namun pada tahun 60-an, banyak perempuan yang pada akhirnya memberontak dengan tuntutan sosial dari masyarakat terhadap bagaimana mereka berpakaian.
Salah satunya seperti yang dilakukan oleh desainer Mary Quant, yang menjadi pelopor dengan mendesain rok mini.
Menurut Quant, perempuan-perempuan di daerah King's Road lah yang memulai pemberontakkan dengan mengenakan rok mini.
Sejalan dengan itu, menurut Deirdre Clemente, sejarawan mode Amerika, mengatakan bahwa pada era tersebut, mengenakan rok mini seakan-akan menghidupi jati diri perempuan yang bebas.
Baca Juga: 5 Fashion Item Wajib dalam Y2K Fashion, Ada Rok Mini sampai Kardigan!
1970-an: Wrap Dress
Pada tahun 1974, sosialita Diane von Furstenberg mendesain wrap dress yang terinspirasi dari desain McCardell dan Schiaparelli.
Wrap dress adalah gaun dengan bukaan depan yang dibentuk dengan cara melilitkan satu sisi ke sisi yang lain, serta mengikat ikatan yang melingkari bagian belakang di pinggang, tanpa kancing maupun ritsleting.
Wrap dress ini pun kemudian memadukan style pekerja kantoran namun dengan gaya cocktail yang meriah.
Fashion item ini pun dilihat sebagai simbol kebebasan seksual dan liberasi perempuan, karena dapat dipakai ke kantor dengan mudah atau bahkan untuk tidur, tanpa ada kancing maupun ritsleting.
Furstenberg pun makin mengukuhkan gagasan bahwa perempuan bebas dengan perannya di tempat kerja maupun kamar tidur.
Itu dia bukti fashion bukan hanya dipakai untuk menunjang penampilan agar terlihat lebih modis, tapi juga digunakan sebagai alat feminis untuk menggaungkan kesetaraan gender.
(*)
Baca Juga: Stylish! Ini 5 Inspirasi Gaya Pakai Dress untuk Perempuan Plus Size