Parapuan.co - Seorang model berambut panjang dengan semburat putih di bagian samping dan belakang kepalanya tampak percaya diri berpose dalam foto kampanye berbagai brand kecantikan hingga mode.
Bercak putih di wajah tirusnya itu pun menunjukkan fitur yang menarik dan cantik, yang tak dimiliki oleh orang lain.
Ia adalah Zsazsa, seorang model vitiligo dan influencer, yang percaya diri dengan kondisi kulitnya yang unik, yang juga kerap menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Namun siapa sangka, di balik kondisi kulitnya yang unik dan terlihat cantik itu, Zsazsa justru pernah tenggelam dalam perasaan insecure. Selama belasan tahun ia berusaha menutupi vitiligo yang kini justru jadi keindahannya yang unik.
Sebagai informasi, vitiligo adalah kondisi yang menyebabkan warna kulit memudar, yang biasanya ditandai dengan area tertentu pada kulit yang memutih.
Pakai Foundation sejak SD
Dalam wawancara dengan PARAPUAN, Zsazsa menjelaskan bahwa awalnya ia selalu berusaha menutupi kondisi kulitnya yang penuh bercak tersebut.
Tak tanggung-tanggung, bahwa sejak dirinya masih bersekolah di Sekolah Dasar (SD), ia sudah akrab dengan alat makeup sebagai upaya untuk menutupi vitiligonya.
"Setiap ke sekolah, dari kelas 5 SD, aku mulai nutupin (vitiligo) karena sempat di-bully di sekolah, sampai aku enggak mau ke sekolah. Akhirnya saat itu orang tua aku merasa mungkin buat aku nyaman ke sekolah dan agar tidak merasa berbeda dengan yang lain adalah dengan ditutupin (vitiligonya)," cerita Zsazsa.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Vitiligo dan Gejala yang Umum Dialami Penderita
Sejak itulah Zsazsa selalu mengenakan tiga lapis stocking, menggunakan foundation di wajahnya, menutupi vitiligo di bagian tangan dan kaki dengan pembalut luka hingga mewarnai rambutnya tiap bulan agar terlihat 'normal'.
"Apalagi dulu di sekolah rambut kan warnanya enggak boleh aneh-aneh, dan saat itu belum ada tren highlight. Begitu juga dengan pakai Hansaplast ukuran besar yang diganti tiap hari untuk nutupin ini (vitiligo di bagian lengannya)," kenang Zsazsa sambil menunjukkan bagian-bagian vitiligo di beberapa bagian tubuhnya.
Dalam rutinitasnya pergi ke sekolah setiap hari, setidaknya Zsazsa butuh waktu minimal 30 menit untuk menutupi vitiligonya. Menurutnya hal ini sangatlah melelahkan. Bahkan, acap kali ia memutuskan untuk menutupinya dengan jaket demi bisa berhemat 30 menit sebelum pergi ke sekolah.
"Aku melakukan itu semua dari kelas 5 SD usia 10 tahun sampai umur 23 tahun. Jadi kurang lebih selama 13 tahun aku insecure. " ujar Zsazsa.
Ia menyadari bahwa perasaan insecure adalah respon yang salah yang membuatnya merasa tidak percaya diri ketika berada di lingkungan yang baru. "Aku terbiasa dengan respon insecure dari rasa penolakan, rasa kecewa, berbeda dari yang lain tapi in a bad way," tambahnya.
Selama 13 tahun menutupi vitiligonya, diakui Zsazsa juga memengaruhi rasa percaya dirinya.
Setiap kali bertemu lawan jenis, ia mempertanyakan dirinya sendiri apakah ada laki-laki yang mau bersama dirinya?
"Kalau ketemu lingkungan baru, pasti ada pertanyaan 'itu kulitnya kenapa?' atau lirikan dari orang lain. Itu jadi makanan sehari-hari aku deh," ceritanya.
Tantangan lain yang kerap dihadapi Zsazsa adalah masih banyak orang yang menganggap vitiligo sebagai sebuah penyakit atau kecatatan. Bahkan ada yang menilai bahwa vitiligo adalah penyakit yang menular.
Baca Juga: Sempat Insecure, Shareefa Daanish Ceritakan Pengalamannya Lawan Adult Acne
Pandangan negatif hingga perundungan yang dialami oleh Zsazsa akibat kondisi vitiligo yang diidapnya ternyata turut memengaruhi kesehatan mentalnya.
"Ini memengaruhi mental aku banget. Aku punya social anxiety dan sempet depresi karena vitiligo," ujar perempuan berusia 27 tahun itu.
Hal ini karena perasaan sendiri ketika harus menghadapi berbagai tantangan dari masyarakat. "Aku merasa sendiri. Enggak ada orang yang bisa pahamin aku, enggak ada yang sama kaya aku, aku ngerasa beda dari orang lain," ujarnya.
Turning Point Penerimaan Diri
Diceritakan oleh Zsazsa, bahwa sebenarnya orang tuanya telah berupaya untuk meningkatkan rasa percaya dirinya dengan mengatakan bahwa vitiligonya adalah hal yang normal dan cantik, yang membuatnya unik.
Namun tentu, bukan hal yang mudah baginya untuk bisa mengubah keadaan seperti membalikkan telapak tangan.
"Dari diri aku sendiri tuh berpikirnya, kalian enggak ngerasain apa yang aku rasain. Yang mana aku sempat mengisolasi diri sendiri dengan sengaja tanpa aku sadari," ujarnya.
Hingga suatu hari, komentar dari seorang temannya lah yang membuat Zsazsa sontak tersadarkan. "Ia (temannya) bilang, 'bukannya vitiligo ini yang bikin Zsazsa jadi Zsazsa yah?'. Itu ketampar banget, kayak selama ini langsung berpikir 'selama ini aku jadi siapa?'," kenangnya.
Baca Juga: Ini Cara Sarra Tobing, Zsazsa dan Mimashafa Menghadapi Standar Kecantikan Semu
Pertanyaan-pertanyaan seperti 'mengapa aku menutupi vitiligo?' dan 'sampai kapan aku harus menutupi ini?' berkecamuk di pikirannya. "Dari situ aku berpikir bahwa ini (menutupi vitiligo) enggak akan ada habisnya. Jadi aku memutuskan untuk menerima Zsazsa yang sesungguhnya," paparnya.
Di usia 23 tahun lah akhirnya Zsazsa memutuskan untuk mulai menerima keunikan dirinya secara perlahan-lahan.
Mulai dari tak lagi menggunakan stocking, kemudian perlahan membiarkan rambut putihnya tumbuh dengan sendirinya hingga akhirnya tak lagi harus menggunakan foundation acap kali harus keluar rumah.
Setelah keputusannya untuk lebih membuka diri dan menunjukkan sisi Zsazsa dengan vitiligonya, memang diakuinya membuat banyak orang jadi banyak bertanya padanya.
"Yah mau enggak mau, setiap kali ada yang nanya, yah aku jawab, walau kadang capek menjawab pertanyaan yang sama terus menerus," ungkap Zsazsa yang menilai bahwa kadang itu konsekuensi yang harus dihadapinya ketika memutuskan untuk meningkatkan awareness masyarakat terhadap vitiligo.
Dibutuhkan waktu satu tahun bagi Zsazsa untuk benar-benar bisa membuka dirinya dan menerima kondisi vitiligo seutuhnya.
Kendati pun sudah mulai menerima dirinya dengan kondisi vitiligo, nyatanya berbagai kendala masih dihadapi oleh Zsazsa.
Misal saja seperti ketika ia dekat dengan seorang laki-laki, orang tua mereka akan bertanya 'memang kamu mau memiliki anak dengan kondisi seperti itu (vitiligo)?'. Mereka khawatir vitiligo akan menurun pada anak mereka. "Ini adalah tantangan yang harus aku hadapi seumur hidupku," ujar Zsazsa.
Namun memang tak dipungkiri olehnya bahwa penerimaan diri tersebut adalah proses panjang yang perlu dilaluinya untuk bisa healing dengan rasa insecure.
Baca Juga: Viral di TikTok Istilah Mask Fishing, Standar Kecantikan saat Pakai Masker
Menjadi Model dengan Vitiligo
Pasca memutuskan untuk lebih terbuka dengan vitiligonya, justru membuka peluang karier yang lebih terbuka bagi Zsazsa. Jika selama ini ia khawatir tak bisa diterima dalam berbagai pekerjaan karena kulitnya, kondisi vitiligonya justru menjadi sesuatu yang indah dari dirinya.
Diceritakan oleh Zsazsa, ketika ia menemani temannya meeting untuk melakukan pemotretan brand kecantikan miliknya, ada seorang fotografer yang melihat tangannya dengan bercak putih.
"Fotografer itu nanya ke temen aku, 'Eh dia model bukan? Mau enggak dia jadi model?'," cerita Zsazsa. Menurutnya, itu adalah respon pertama dari orang lain yang tak memandang vitiligonya sebagai sesuatu yang aneh.
"Dari situ aku mulai lebih membuka diri lagi, berani menerima hal-hal baru. Dan kenapa enggak aku coba (jadi model), karena siapa tahu dengan aku membuka diri (menerima vitiligo), ada pintu yang terbuka," papar Zsazsa tentang awal mulanya ia berkarier sebagai model dengan vitiligo.
Walau tak punya pengalaman menjadi model, Zsazsa memberanikan diri menerima tawaran tersebut. Gayung bersambut, pasca menjadi model untuk brand kecantikan milik temannya tersebut, tawaran serupa semakin banyak datang untuk dirinya.
Sejak itu pula, eksistensi Zsazsa semakin dilihat oleh agensi modeling, yang juga mengajaknya untuk bergabung menjadi model profesional.
"Mulailah aku berkembang lagi jadi model. Banyak banget yang ternyata interest dengan kulit aku," kenang Zsazsa yang kini makin disibukkan dengan karier modelingnya.
Kendati demikian, tak dipungkirinya bahwa di awal kariernya masih ada perasaan insecure yang menghantuinya.
Baca Juga: Hari Vitiligo Sedunia, Bentuk Dukungan atas Penyakit yang Sering Dilupakan
Ketakutan akan ketidakpercayaan diri apakah dirinya cocok menjadi model di tengah industri yang kental dengan standar kecantikan tertentu.
"Tapi di satu sisi aku juga sadar, ketika ada orang yang mau memperkerjakan aku, berarti aku juga punya value lebih kan. Dari situ aku mikir bahwa ini bisa jadi modal aku untuk merepresentasikan vitiligo," katanya optimis.
View this post on Instagram
Buat Komunitas Vitiligo
Setelah menjadi model, dukungan tak henti-hentinya diterima oleh Zsazsa dari orang-orang di sekitarnya. Mulai dari keluarga, sahabat, para pengikutnya di media sosial hingga komunitas-komunitas vitiligo yang juga terinspirasi darinya.
Dukungan-dukungan itu jugalah yang mendorong Zsazsa untuk membuat komunitas untuk mereka yang memiliki kondisi serupa dengannya di awal tahun 2022. Dinamai Vitipower, ini adalah komunitas vitiligo yang didirikan Zsazsa untuk menjadi ruang aman untuk mereka berbagi cerita, saling mendukung dan menginspirasi.
Tujuan dari adanya komunitas ini, menurut Zsazsa, agar komunitas vitiligo bisa lebih menerima dirinya dengan keunikannya masing-masing.
Anggota komunitas ini pun hadir dengan berbagai keberagamannya, mulai dari yang berusia 2 bulan hingga umur 50 tahun ke atas, hingga pasangan dengan vitiligo.
"Ke depannya aku pingin lebih menjangkau ke anak-anak yang masih berkembang, masih mencari jati dirinya. Supaya enggak kena dampak negatif dari merasa berbeda dan sendiri karena vitiligonya," paparnya.
Baca Juga: Bangga! Model Indonesia Shahnaz Indira Debut di London Fashion Week
View this post on Instagram
Zsazsa pun berharap komunitasnya ini bisa menjangkau masyarakat di daerah yang cenderung lebih mudah dihakimi.
"Kalau di daerah tuh vitiligo bisa dianggap karena pesugihan. Mitosnya pesugihan bulus putih. Terus ada juga yang menganggap vitiligo menular. Aneh-aneh pokoknya," jelas Zsazsa.
Penghakiman-penghakiman negatif ini terjadi karena masih rendahnya awareness terhadap vitiligo.
"Dan dalam proses penerimaan diri tuh aku mengalami itu semua. Jadi aku pengen generasi yang di bawah aku tuh enggak perlu ngalamin hal yang sama, apalagi sekarang informasi lebih mudah didapat, sehingga seharusnya stigma-stigma negatif itu lebih berkurang lah. Bahkan mimpinya enggak ada lagi stigma," harapnya.
Zsazsa pun berharap akan ada lebih banyak orang yang bisa merasa percaya diri dengan apapun kondisi kulit mereka.
Dari kisah Zsazsa dengan vitiligonya, kita belajar bahwa hal yang kerap kita anggap sebagai kekurangan ternyata bisa menjadi kekuatan utama kita untuk berkembang lebih besar.
Yuk, Kawan Puan, mari kita mulai mencintai diri sendiri dan semoga akan makin banyak perempuan yang merasa percaya diri dengan kondisi kulitnya yang cantik, karena #akuberharga.
Kawan Puan juga bisa berbagi cerita dan mengekspresikan apapun yang kamu rasakan di Ruang Cerita, tanpa perlu takut merasa dihakimi.
(*)
Baca Juga: Berdasarkan Riset, Masih Banyak Perempuan Punya Body Positivity Rendah