Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Pendidikan merupakan hak semua orang, terutama anak-anak, yang mesti dijamin oleh negara.
Sependek pengamatan saya, prinsip tersebut sangat dijunjung tinggi di Inggris.
Sebagai contoh, anak-anak ini diwajibkan menjalani pendidikan secara penuh sejak usia lima hingga 16 tahun.
Dalam hal ini, negara tidak sekadar menyuruh, tapi memastikan mereka benar-benar mendapatkan haknya untuk sekolah.
Jika anak-anak ini tidak hadir ke sekolah, maka pihak sekolah akan menghubungi orangtuanya untuk menanyakan alasan ketidakhadiran mereka.
Sikap semacam itu mungkin masih agak umum dan juga dilakukan oleh sebagian besar sekolah di Indonesia. Namun jika terdapat anak yang terlalu sering membolos, maka pihak yang turun tangan adalah representasi pemerintah yang disebut sebagai Education Welfare Officer atau EWO.
Baca Juga: 5 Perbedaan Sekolah Negeri dan Swasta, dari Segi Biaya hingga Pergaulan
Berkenalan dengan EWO
EWO adalah lembaga yang tugasnya khusus memastikan anak-anak untuk mendapatkan pendidikan.
Jika mereka mendapat informasi bahwa terdapat anak yang terlalu sering tidak masuk, EWO akan mendatangi pihak sekolah untuk menggali informasi terlebih dahulu.
Absensi yang terlampau sering dapat disebabkan oleh sejumlah faktor seperti liburan, sakit, masalah finansial, atau masalah perundungan (bullying).
Tentang liburan, sebenarnya hal tersebut bisa dikatakan sebagai hak dari anak beserta keluarganya. Namun di Inggris, vakansi tersebut dapat menjadi masalah jika dilakukan tidak pada waktu liburan.
Artinya, liburan tetap bukan sebuah alasan bagi anak-anak untuk meninggalkan sekolah.
Kemudian terkait masalah finansial, pemerintah Inggris sebenarnya menggratiskan sekolah negeri bagi warga negara Inggris dan warga negara asing yang sudah mengantongi izin tinggal yang legal.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan orangtua mengalami masalah ekonomi sehingga tidak sanggup mengantar anak-anaknya ke sekolah.
Selebihnya, pemerintah benar-benar menjamin anak-anak ini supaya bisa sekolah.
Baca Juga: Hindari Bertanya PR, Lakukan Ini saat Menyambut Anak Pulang Sekolah
Selain menggratiskan, pemerintah juga memastikan adanya jaminan perlindungan bagi anak selama di sekolah. Namun segala jaminan tersebut bukan berarti orangtua bisa begitu saja lepas tangan mengawasi anak.
@cerita_parapuan Selama ini disetirin, tiba-tiba disuruh nyetir sendiri, gimana dong? ???? #fypシ #parenting #toxicparenting #parentingtips ♬ Stan Remix - CMG Trap
Pentingnya Peran Orangtua
Justru hal yang juga menjadi perhatian pemerintah Inggris adalah kemauan dan kemampuan orangtua dalam mengawasi anak-anaknya, terutama dalam proses kedatangan ke sekolah beserta kepulangannya.
Bagi anak-anak di usia tertentu, orangtua wajib mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah.
Perlu diketahui bahwa orangtua yang dimaksud di sini adalah ibu dan ayah yang dianggap memiliki peran bersama.
Hal tersebut sedikit berbeda dengan konstruksi peran pendidikan anak di Indonesia yang lebih sering diserahkan pada ibu.
Sekali lagi, ini bukan sekadar himbauan, melainkan benar-benar ada sanksi jika para orangtua abai melakukannya.
Jika tidak mengantar dan menjemput anaknya, orangtua tersebut bisa diberi peringatan dan bahkan dikenakan denda!
Baca Juga: 3 Alasan Anak Tidak Mau Cerita tentang Bullying yang Dialaminya ke Orang Tua
Bagaimana Bila Ada Bullying (Perundungan)?
Di Inggris, kasus perundungan disikapi dengan sangat serius. Pihak sekolah bisa langsung bersikap tegas dengan mendisiplinkan pelaku, tetapi dalam kasus yang tergolong berat, pelaku bisa dilaporkan ke polisi.
Artinya, tidak ada toleransi bagi perundungan karena jika dibiarkan, korban yang mengalami perundungan tidak hanya enggan masuk sekolah, tapi juga bisa menderita trauma berat.
Jika seluruh kondisi ternyata tidak memungkinkan bagi si anak untuk berangkat ke sekolah dan hal ini terjadi hingga beberapa waktu, EWO akan menyelidiki apakah si anak tetap mendapat pendidikan di rumah atau tidak.
Dengan demikian, pemerintah Inggris menjamin anak untuk mendapatkan pendidikan di manapun dan kalaupun tidak bisa memperolehnya di sekolah, mereka harus tetap mendapatkannya di rumah.
Dapat dikatakan bahwa pemerintah Inggris sangat memperhatikan nasib anak-anak sekolah dan senantiasa memastikan bahwa mereka mendapat pendidikan.
Selain itu, pemerintah Inggris juga menjamin secara ketat keamanan mereka, tidak hanya dari ancaman kekerasan di luar rumah, tapi juga dari dalam rumah mereka sendiri.
Misalnya, anak saya sendiri pernah mengalami luka karena tidak sengaja tergores pintu di rumah saat berlari-larian. Besoknya, saya ditelepon pihak sekolah yang menanyakan asal muasal luka pada anak saya ini.
Saya kaget, tentu saja, tapi sekaligus kagum dengan bagaimana pihak sekolah benar-benar memperhatikan anak saya (dan seluruh anak lainnya).
Hal ini merupakan bentuk kepedulian mereka dalam mencegah dan mengatasi kekerasan dalam keluarga.
Baca Juga: 1 Juni Hari Anak Internasional atau Tepatnya Hari Perlindungan Anak Internasional, Ini Sejarahnya
Kondisi di Indonesia
Kondisi pendidikan dan perlindungan bagi anak Indonesia tidak bisa dikatakan jauh tertinggal dibandingkan Inggris.
Kita punya program wajib belajar 12 tahun, kita juga punya komisi perlindungan anak yang bertugas menjamin hak-hak anak termasuk pendidikan dan rasa aman.
Namun hal yang dapat dikatakan berbeda adalah keketatan pengawasannya.
Di Inggris, yang saya rasakan, pemerintahnya benar-benar berkomitmen untuk mengimplementasikan program-programnya dengan sangat serius hingga menerapkan hukuman tertentu jika ternyata diabaikan.
Tentu saya di sini tidak melulu menyalahkan pemerintah kita dalam melakukan pengawasan.
Terdapat masalah yang begitu kompleks di Indonesia, sehingga tidak bisa menyalahkan satu pihak saja.
Misalnya, masalah ekonomi yang belum merata, sehingga banyak sekolah, meskipun sekolah negeri, masih memungut biaya dari siswa-siswinya.
Baca Juga: Ajari Anak Menulis Buku Harian, Ada Manfaat Tak Terduga untuk Kesehatan Mentalnya
Meski harganya relatif murah, tetap saja ada keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah yang tidak sanggup untuk membayarnya. Terlebih lagi, fasilitas transportasi umum di Indonesia belum bisa sepenuhnya digratiskan.
Kita memang mesti mencontoh pada Inggris dalam hal penerapan sistem pendidikan dan perlindungan pada anak yang memperlihatkan kehadiran negara secara total.
Namun kita juga sebaiknya jangan abai terhadap situasi struktural yang kompleks dan masih perlu diatasi bersama-sama.
Hanya dengan saling berkolaborasi dan menguatkan antara berbagai pihak, termasuk para ibu dan komunitas perempuan dalam menyuarakan aspirasi terkait pendidikan anak, kita akan dapat membuat nasib anak-anak kita jauh lebih baik demi masa depan mereka. (*)