Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Ada ungkapan yang beredar di masyarakat, sepintas terdengar cukup menggelikan. Tapi mungkin karena disusun berdasar pengamatan yang seksama dan kejadiannya berulang, ungkapan itu jadi banyak pengikutnya.
Kurang lebih ungkapannya, kalau datang ke toko tempat penjualan produk-produk eletronik, handphone, komputer, tablet, kamera digital, cari yang penjualnya laki-laki.
Kalau penjualnya perempuan, saat diminta memberi penjelasan tentang produk sering kurang detail dan tak memuaskan.
Sebaliknya kalau datang ke toko produk fashion atau kosmetik, perempuan lebih jago.
Bukan hanya paham produknya. Perempuan juga bisa memberikan saran yang jitu, produk yang sesuai bagi calon konsumennya. Pelayanannya memuaskan.
Bagaimana Ungkapan Itu Bermula?
Entah sudah ada penelitian yang mencoba menghubungkan kaitan gender dengan pemahaman terhadap produk atau belum, sebagian masyarakat percaya ungkapan-ungkapan seperti di atas.
Yang kemudian turut berkembang, selain stereotipe gender yang dikaitkan dengan produk, anggapan yang mengaitkan penguasaan pengetahuan tertentu dengan gender juga berkembang.
Baca Juga: Pentingnya Mematahkan Bias Gender hingga Stereotip Terhadap Perempuan
Ungkapan-ungkapan itu pada akhirnya sering memosisikan perempuan sebagai makhluk berkemampuan lebih rendah dibanding laki-laki.
Karenanya, “operasi” bahasa sering mengaitkan kata tertentu dengan perempuan.
Bukan karena perempuan memang demikian adanya, namun demi tujuan tertentu dibahasakan seperti itu. Bahasa tak terbukti netral, juga terhadap gender.
Kenyataan bahasa yang tidak netral terhadap gender, diungkap oleh Sonia Nieto, 2016, dalam artikelnya “Language is Never Neutral”.
Nieto adalah guru besar emeritus di Bidang Bahasa, Sastra dan Budaya pada Fakultas Pendidikan di Universitas Massachusetts, Amerika Serikat.
Dalam artikelnya itu Nieto menguraikan, bahasa merupakan perwujudkan dan cerminan hubungan kekuasaan tertentu, berikut realitas sosiopolitiknya.
Artikel Nieto yang ditulis sebagai sambutan terhadap penerbitan buku koleganya, Jen McCreight, yang berjudul “Celebrating Diversity Through Language Study”, menekankan guru yang memahami “operasi” bahasa, dapat mengajak para siswanya untuk melepaskan kekakuan bahasa, serta mampu menggunakannya pada konteks yang berbeda-beda.
Termasuk dalam menggambarkan keragaman akibat perbedaan gender.
Dari ketidaknetralan itu, kemudian dapat dipahami adanya operasi bahasa yang dilekatkan pada gender tertentu.
Baca Juga: 4 Kesenjangan Gender yang Dialami Perempuan dalam Dunia Kerja
“Operasi” yang menciptakan relasi tak imbang antara laki-laki dengan perempuan. Satu gender dianggap lebih rendah dari lainnya.
Salah satunya nyata terjadi dalam penggunaan kata “pemberdayaan”.
Mari mulai: ujaran apa yang sering mengikuti kata “pemberdayaan”?
Terhadap bersitan rasa ingin tahu itu, dengan menggunakan mesin penelusur Google search, muncul beberapa kombinasi kata sebagai hasilnya.
Yang ditemukan: pemberdayaan masyarakat desa, pemberdayaan perempuan, pemberdayaan komunitas, pemberdayaan sosial, pemberdayaan UMKM.
Namun tak ditemukan paduan “pemberdayaan masyarakat kota”. Tak ada pula ada “pemberdayaan laki-laki”.
Demikian pula saat menelusur “empowerment”. Didapati kenyataan yang serupa.
Yang muncul, empowerment to women, to change, to youth, to employee.
Jika kombinasi yang ditemukan merupakan akumulasi pertanyaan yang sering diajukan, ini bisa jadi cermin terhadap hal yang banyak dipikirkan orang.
Memang bukan temuan ilmiah. Namun jika benar yang diperoleh dari Google adalah cermin pikiran banyak orang, pola yang terlihat: pemberdayaan maupun empowerment selalu dilekatkan pada objek.
Baca Juga: Nani Zumilnarni, Pendiri Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah Tangga
Dengan garis bawah tebal: objek itu subordinat, tak punya daya atas dirinya sendiri. Karenanya perlu melibatkan kekuatan dari luar. Kekuatan yang memberdayakan.
Dari paduan “pemberdayaan masyarakat desa”, mungkin masyarakat desa dianggap belum menjalani kehidupan layaknya masyarakat kota. Sehingga pada kelompok ini, perlu diberdayakan “ke arah yang benar”.
Ini agar masyarakat desa dapat menikmati kehidupan sebagaimana saudaranya yang ada di kota.
Demikian pula pada “pemberdayaan UMKM”, atau “pemberdayaan kaum muda”, bisa jadi objek-objek ini masih ada pada tahap yang harus dikembangkan. Karenanya perlu mendatangkan daya dari luar.
Tentu saja untuk semua temuan itu, dapat diperdebatkan bahkan ditolak.
Misalnya, kata "pemberdayaaan" tidak cocok untuk itu semua. Paduannya semata-mata hasil operasi bahasa.
Bahkan sekedar selera bahasa dangkal, yang sewenang-wenang dilekatkan.
Jika demikian, tentu sanggahan itu juga dapat diterapkan pada paduan kata “pemberdayaan perempuan”.
Yang Membisukan dan Yang Dibisukan
Perempuan bukan objek untuk tujuan apapun. Demikian pula, perempuan bukan kelompok manusia yang tak punya daya atas dirinya sendiri. Oleh karenanya tak perlu diberdayakan oleh pihak lain.
Namun dalam realitasnya, banyak kelaziman yang menyandingkan kedua kata itu.
Untungnya, banyak pula teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan kelaziman itu.
Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan keadaan itu adalah Muted Group Theory (MGT).
MGT dikembangkan oleh anthropolog Edwin Ardener dan Shirley Ardener, sekitar tahun 1975-an.
Keduanya memfokuskan perhatian pada kelompok marginal di masyarakat. Kelompok dibisukan, muted.
Termasuk dalam kelompok marginal itu, kaum perempuan, orang lanjut usia, warga berkulit berwarna, kaum difabel, dan penganut agama minoritas di tempat teori dikembangkan.
Sedangkan dibisukan, muted, berarti, kelompok ini tak punya alat ekspresi.
Bahasa bukan dikembangkan oleh kalangan mereka sendiri saat menyatakan pikiran dan perasaannya.
Baca Juga: Mengenal GP3M yang Diluncurkan Kemendikbud Ristek untuk Perempuan di Daerah Marginal
Mereka berbahasa bukan dengan bahasanya, dan mereka dikenai operasi bahasa dalam penggambaran keadaan yang mereka alami.
Lalu, siapa kelompok yang membisukan dan melakukan operasi bahasa pada kelompok marginal ini?
Tak lain para laki-laki dan para penguasa kapital.
Pertandingan Menguasai Bahasa
Dalam pikiran para penguasa ini, hidup diandaikan pertandingan yang tak berkesudahan.
Karenanya, agar tak terkalahkan dalam pertandingan, mutlak harus menguasai aturannya. Aturan itu diwujudkan sebagai bahasa.
Pada pertandingan antara laki-laki dengan perempuan misalnya, laki-laki merasa tak nyaman dengan perempuan yang berada di ranah publik.
Ranah publik khusus untuk laki-laki, perempuan sepantasnya ada di ranah domestik.
Untuk menggiring perempuan yang terlanjur ada di ranah publik, diciptakanlah bahasa: kinerja perempuan tak setara laki-laki.
Perempuan emosional dalam mengambil keputusan, laki-laki rasional.
Baca Juga: Berbagai Langkah Tingkatkan Kesetaraan Gender di Dunia Kerja dari B20 WiBAC untuk G20
Perempuan harus mengajukan cuti menstruasi setiap bulan, laki-laki dapat bekerja sapanjang tahun.
Perempuan absen lama dari pekerjaan manakala melahirkan, karenanya laki-laki yang membiayainya.
Itu semua tanpa dengan gangguan perempuan di ranah publik.
Perbedaan kinerja perempuan, dianggap mengganggu stabilitas kerja. Bahkan dapat mengacaukan perencanaan yang telah disusun.
Karenanya hak gaji perempuan lebih rendah, untuk pekerjaan yang sama dengan laki-laki.
Demikian pula ketika sekelompok perempuan berkumpul dengan sesamanya, laki-laki akan mengenakan operasi bahasa pada aktivitas itu, sebagai “ngerumpi”, “ngegosip”, “kumpul-kumpul enggak jelas”.
Perempuan seakan hanya bisa melakukan kegiatan tak penting.
Sebaliknya manakala laki-laki berkumpul dengan laki-laki lain, mereka menyebutnya sebagai “melangsungkan perencanaan strategis”, “meeting", dan hal-hal heroik lainnya bagi pekerjaan.
Tak berhenti sampai di situ, pada fasilitas-fasilitas umum adanya perempuan yang menggunakan transportasi untuk menuju tempat kerjanya, tak jarang mengalami pelecehan seksual, diskriminasi, bahkan menerima julukan-julukan tak mengenakkan.
Baca Juga: Jadi Kepala Rumah Tangga, Nani Zulminarni Lawan Stigma Buruk Janda
Ketika para perempuan pulang malam dari tempat kerja, akan mengalami operasi bahasa, dijuluki sebagai “bukan perempuan baik-baik”.
Mungkin Kawan Puan juga pernah mengalaminya.
Seluruh modus bahasa itu pada akhirnya berujung pada pembisuan kelompok perempuan.
Perempuan dengan kapasitas pikiran dan perasaan yang secara alami tak beda dari laki-laki, disudutkan lewat bahasa.
Tujuannya, pertama, agar perempuan tidak nyaman di ranah publik, karenanya dengan sukarela kembali ke ranah domestik.
Kedua, agar perempuan tak percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya. Mereka mengekspresikan pikiran dan perasaannya melalui bahasa yang telah dipilihkan laki-laki.
Perempuan menekan ekspresi pengalamannya, lantaran tak punya bahasa yang tepat.
Ini mengantar perempuan, jadi manusia yang tersubordinat. Tak percaya kalau dirinya setara laki-laki.
Perempuan menyerah jadi objek bahasa, termasuk kebutuhannya dalam pemberdayaan.
Keadaan sempat membaik. Hari ini ketika media digital jadi kenyataan dunia, perempuan punya perangkat untuk mewujudkan keutuhan dirinya.
Manuel Castells, 2000, dalam “The Rise of The Network Society”, menyebut sebagai bangkitnya jejaring perempuan atas dominasi laki-laki.
Ini terwujud, manakala perempuan unjuk kemampuannya dengan memanfaatkan perangkat digital.
Mereka bahkan melakukannya dengan tak perlu meninggalkan rumah. Menjadi penulis, peneliti, editor, pedagang komoditas. Semua dapat dilakukan di rumah.
Lalu, berakhirkah operasi bahasa menyudutkan perempuan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki?
Tidak. Justru makin marak.
Pembisuan lewat operasi bahasa justru makin intensif terjadi di media-media digital.
Frekuensi perempuan yang mengalami pelecehan seksual, kekerasan verbal maupun perundungan, justru meningkat di media digital.
Saatnya menyerah? Tidak.
Justru Kawan Puan harus membuktikan, pemberdayaan tak pernah dicapai lewat kekuatan luar. Perempuan harus memberdayakan dirinya sendiri.
Menunggu keadaan di luar menjadi baik? Tak akan pernah. Perempuan harus menciptakan keadaan baik bagi dirinya sendiri. (*)