Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Ekspresi menangis muncul tak kenal usia. Bisa terjadi pada usia anak-anak maupun dewasa.
Seiring kemampuan mengendalikan emosi, ekspresi menangis jarang ditampilkan di usia dewasa. Namun itu juga berlaku bagi ekspresi emosional lainnya.
Jika menangis kemudian berkembang jadi anggapan bermakna peyoratif (sebagai ejekan bagi tindakan emosional yang tak ada gunanya, lebih-lebih manakala dilekatkan pada gender perempuan), tentu ini adalah anggapan yang kurang data.
Ambil saja contoh beberapa pemimpin perempuan yang berhasil dalam menjalankan kepemimpinannya, menangis bukanlah hal tabu.
Baca Juga: Sambil Menangis, Begini Rieke Diah Pitaloka Menyuarakan Hak Perempuan
Menangis juga tak terkait dengan kegagalan memimpin.
Tri Rismaharini, mantan Walikota Surabaya, berulang-ulang diberitakan menangis dalam menjalankan manajemen pemerintahannya.
Menangisnya Risma, dicatat oleh Detik.com, 30 Juni 2020, dengan judul, Tiga Momen Saat Wali Kota Risma Sujud dan Menangis.
Sedangkan Kompas, 15 Oktober 2021, dengan judul Ini 7 Aksi Marah-Marah Risma, merangkum perilaku emosional Bu Walikota itu: marah-marah dan menangis.
Salah satu di antaranya, Risma menangis, saat menyaksikan Taman Bungkul jadi berantakan setelah acara bagi-bagi es krim gratis oleh sebuah perusahaan.