Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Laporan aktual tadi bisa ditanggapi sebagai, tak dihargainya pengorbanan perempuan yang telah memasak sayuran sejak pagi.
Rapport talk perempuan untuk keadaan ini, “Kamu enggak ikutan ngantuk sih, waktu pagi tadi aku siapkan.”
Tentu saja kalimat ini diucapkan dengan nada kesal. Kekesalan yang tak dipahami laki-laki.
Laki-laki kemudian membatin, “Saya cuma bilang rasanya terlalu asin, kok. Kan, tinggal ditambahin air sedikit.”
Contoh lain di lingkungan kerja: Seorang atasan perempuan berusaha membangun rasa empati pada bawahan laki-lakinya, tentang kinerja unit pemasaran yang jadi tanggung jawabnya.
”Sepertinya target tidak tercapai hingga akhir tahun ini, ya. Apa ada persoalan di luar kantor yang mengganggu?”
Sebuah upaya untuk membuat nyaman sang bawahan tapi bisa berujung salah paham, dengan terlontarnya jawaban report laki-laki.
“Ibu tidak melihat kalau selama pandemi, minat masyarakat terhadap barang kita jauh sangat turun? Kalau tak tercapai sampai akhir tahun, biar bonus saya tidak usah dibayarkan.”
Gagal sudah upaya penyelesaian masalah bersama yang sebenarnya sederhana.
Beda tafsir akibat beda orientasi masing-masing, menggagalkan kesepahaman. Tak jarang untuk kedua ilustrasi di atas, diikuti dengan tangisan perempuan.
Tangisan itu pun ungkapan rapport, bahwa isi pikiran perempuan tak seperti yang laki-laki bayangkan.
Ketika kata-kata tak bisa dilontarkan, tangisan jadi penggantinya. Dan laki-laki menghadapi tangisan itu, akan berpikir, Hanya soal sepele kok pakai nangis?
Hari ini ketika penggunaan media sosial makin lazim, berbedakah pengungkapan isi pikiran antar gender, lewat komunikasi berbasis teknologi?
Alina Korovatskaya, 2020 dalam penelitian untuk keperluan tesis masternya di University of New York, dengan judul Genderlects in Social Media, menyebutkan bahwa pada media sosial, baik laki-laki maupun perempuan menampilkan pola linguistik tertentu.
Namun banyak pula pola yang bertentangan satu sama lain.
Artinya, hal yang dilakukan laki-laki pada beberapa tampilan juga dilakukan perempuan. Demikian pula sebaliknya.
Ini menunjukkan tak adanya konsistensi orientasi pengungkapan isi pikiran dalam penggunaaan media sosial.
Baca Juga: Cara Perempuan Menepis Ketakutan yang Ditebarkan Media Sosial
Sedangkan penelitian Sramana Majumdar, Maanya Tewatia, Devika Jamkhedkar dan Khushi Bhatia, 2022, yang berjudul “You Don’t Know Me so Don’t Try to Judge Me”: Gender and Identity Performance on Social Media Among Young Indian Users, menyebut komunikasi antargender di media sosial sama-sama bergantung pada norma offline yang ada.
Ini sekaligus menantang hal yang sama untuk menciptakan wacana baru tentang gender.
Artinya berdasarkan penelitian Majumdar dan kawan-kawan, orientasi berdasar gender di dunia nyata, juga jadi norma pengungkapan isi pikiran di media sosial. Sesuai dengan Teori Genderlect di atas.
Hanya berdasar 2 hasil penelitian ini, tak perlu buru-buru menarik kesimpulan yang tegas, genderlect di media sosial.
Masih perlu serangkaian penelitian yang mencakup variasi ruang dan waktu, yang lebih beragam.
Namun yang jelas dari seluruh uraian dan ilustrasi di atas, orientasi dalam mengungkapkan isi pikiran, merupakan bentuk ekpsresi komunikasi saja.
Salah satu gender lebih nyaman dengan rapport talk, termasuk mengungkapkannya lewat tangisan.
Sedangkan gender yang lain merasa efisien ketika pengungkapannya dengan report talk.
Kesalahpahaman akibat beda orientasi dapat diminimalkan dengan interaksi yang membentuk saling pengertian.
Dan yang terpenting, tak ada kaitannya dengan kualitas isi pikiran. Lebih-lebih ketika dikaitkan dengan kecakapan memimpin.
Kalau bisa sukses memimpin dengan menangis, apa yang salah? (*)