Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Menangis bukan tanda kelemahan. Apalagi disebut kebiasaan yang hanya sesuai bagi perempuan.
Bahwa perempuan yang lebih banyak melakukannya, bukan berarti tabu jika laki-laki juga menangis.
Menangis atau cara lainnya, hanya soal pilihan untuk mengekspresikan isi pikiran.
Bukti kuat menangis bukan perilaku khas perempuan adalah bahwa sejak lahir, baik bayi laki-laki maupun perempuan, melakukan komunikasi pertamanya lewat tangisan.
Entah sejak kapan laki-laki berhenti menangis dan perempuan masih melakukannya, sehingga menangis seakan perilaku yang hanya melekat pada perempuan.
Menangis, tak beda dengan ekspresi komunikasi lainnya.
Perilaku seperti membentak, memuji, memaki, merayu, menghardik, dan membujuk, seluruhnya mewakili isi pikiran. Tindakan yang disampaikan dengan makna tertentu.
Dalam penelitian berjudul, Holding Back the Tears: Individual Differences in Adult Crying Proneness Reflect Attachment Orientation and Attitudes to Crying yang dilakukan Penggilingan Abigail, Erica G. Hepper, Claire M. Hart, dan Louise Swift, 2016, dengan mengutip pendapat Vingerhoets dan Cornelius, 2001, menangis punya latar belakang emosional yang unik bagi manusia.
Tak seperti ekspresi emosional lainnya, menangis adalah perilaku universal namun sifatnya khas.
Sebagai bentuk ekspresi emosional, menangis sering tak dapat dikendalikan. Juga sulit dipalsukan, jika tak ada dorongan untuk itu.
Ekspresi menangis muncul tak kenal usia. Bisa terjadi pada usia anak-anak maupun dewasa.
Seiring kemampuan mengendalikan emosi, ekspresi menangis jarang ditampilkan di usia dewasa. Namun itu juga berlaku bagi ekspresi emosional lainnya.
Jika menangis kemudian berkembang jadi anggapan bermakna peyoratif (sebagai ejekan bagi tindakan emosional yang tak ada gunanya, lebih-lebih manakala dilekatkan pada gender perempuan), tentu ini adalah anggapan yang kurang data.
Ambil saja contoh beberapa pemimpin perempuan yang berhasil dalam menjalankan kepemimpinannya, menangis bukanlah hal tabu.
Baca Juga: Sambil Menangis, Begini Rieke Diah Pitaloka Menyuarakan Hak Perempuan
Menangis juga tak terkait dengan kegagalan memimpin.
Tri Rismaharini, mantan Walikota Surabaya, berulang-ulang diberitakan menangis dalam menjalankan manajemen pemerintahannya.
Menangisnya Risma, dicatat oleh Detik.com, 30 Juni 2020, dengan judul, Tiga Momen Saat Wali Kota Risma Sujud dan Menangis.
Sedangkan Kompas, 15 Oktober 2021, dengan judul Ini 7 Aksi Marah-Marah Risma, merangkum perilaku emosional Bu Walikota itu: marah-marah dan menangis.
Salah satu di antaranya, Risma menangis, saat menyaksikan Taman Bungkul jadi berantakan setelah acara bagi-bagi es krim gratis oleh sebuah perusahaan.
Perilaku emosional ini pun masih berlanjut hingga sekarang, saat Risma menjabat sebagai Menteri Sosial.
Perilaku menangis juga diperlihatkan pemimpin perempuan yang menonjol, seperti PM Selandia Baru, Jacinda Ardern.
Dia dikenal sebagai salah satu pemimpin yang berhasil mengendalikan penularan COVID-19, saat pandemi meletus di tahun 2020.
Tercatat, Ardern menangis ketika meminta maaf kepada keluarga turis Inggris, Grace Millane, yang terbunuh dalam perjalanan backpacking-nya, pada tahun 2018.
Dia juga menangis saat pembacaan khotbah mengiringi pemakaman korban teror penembakan yang menimpa umat Muslim pada peristiwa Christchurch, 2019.
Dan tangisan itu kembali terjadi saat Ardern mengantar kepergian Sir Michael Cullen, mantan Wakil Perdana Menteri Selandia Baru, di tahun 2022.
Sang Perdana Menteri tak kuasa menahan tangisnya, lantaran Cullen yang dianggapnya sebagai mentor politik Ardern.
Baca Juga: Fatima Payman, Senator Berhijab Australia yang Menangis Saat Pidato di Parlemen
Memang dalam bereksperesi sebagai bentuk komunikasi, ada beda orientasi antara laki-laki dengan perempuan.
Yang kita perlu tahu, Kawan Puan: Beda orientasi itu sama sekali tak menggambarkan benar-salah, tinggi-rendah, kuat-lemah.
Perbedaannya hanya dalam pilihan penggunaan bahasa sebagai pengungkap isi pikiran. Sepenuhnya didasari beda gender.
Namun kesalahpahaman antar gender, sering bermula dari beda orientasi ini.
Baca Juga: Mitos dan Aspek Struktural: Kesenjangan Gender dari Hulu hingga Hilir
Deborah Tannen, 1990, melalui buku yang ditulisnya, You Just Don't Understand, mengungkapkan perbedaan itu dalam istilah “genderlect”.
Secara ringkas genderlect dapat diberi pengertian sebagai perbedaan penggunaan bahasa yang didasari perbedaan gender dalam berkomunikasi.
Buku tulisan Tannen ini merupakan bagian dari karya yang ditulisnya sebagai akademisi.
Ini terkait dengan kedudukannya sebagai Guru Besar di bidang Sosiolinguistik, di Universitas Georgetown, Washington, Amerika Serikat.
Sebagai catatan, sosiolinguistik adalah pengetahuan tentang bahasa dan penggunaannya, yang dikaitkan dengan konteks sosial tertentu.
Ini relevan, Teori Genderlect menjelaskan tentang penggunaan bahasa dalam konteks sosial, berupa perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan.
Sejak kecil Deborah Tannen senang mengamati relasi yang terjadi di sekitar tempat hidupnya. Hasil pengamatannya itu dituliskan dalam buku.
Salah satu pengamatan yang dicatatnya terkait dengan orientasi saat laki-laki atau perempuan mendeskripsikan isi pikirannya.
Baca Juga: Toxic Masculinity dan Pembagian Kerja Berbasis Gender dalam Keluarga
Menurut Tannen, laki-laki berorientasi report talk, sedangkan perempuan berorientasi rapport talk.
Report talk artinya pembicaraan berupa penyampaian informasi, berdasarkan keadaan aktual. Tak ada, bahkan hampir tak melibatkan emosi.
Sedangkan rapport talk adalah pembicaran penyampaian informasi, yang bertujuan membangun kedekatan. Membentuk relasi berdasar situasi emosional.
Tentu saja tipe pembicaraan ini sarat dengan muatan emosional.
Dalam aplikasinya di kehidupan sehari-hari, dua beda orientasi ini kerap jadi pangkal pertengkaran laki-laki dengan perempuan.
Laki-laki yang melakukan report talk contohnya seperti, “Sayur ini terlalu asin”, sebagai upaya melaporkan keadaan aktual rasa sayur.
Laporan aktual tadi bisa ditanggapi sebagai, tak dihargainya pengorbanan perempuan yang telah memasak sayuran sejak pagi.
Rapport talk perempuan untuk keadaan ini, “Kamu enggak ikutan ngantuk sih, waktu pagi tadi aku siapkan.”
Tentu saja kalimat ini diucapkan dengan nada kesal. Kekesalan yang tak dipahami laki-laki.
Laki-laki kemudian membatin, “Saya cuma bilang rasanya terlalu asin, kok. Kan, tinggal ditambahin air sedikit.”
Contoh lain di lingkungan kerja: Seorang atasan perempuan berusaha membangun rasa empati pada bawahan laki-lakinya, tentang kinerja unit pemasaran yang jadi tanggung jawabnya.
”Sepertinya target tidak tercapai hingga akhir tahun ini, ya. Apa ada persoalan di luar kantor yang mengganggu?”
Sebuah upaya untuk membuat nyaman sang bawahan tapi bisa berujung salah paham, dengan terlontarnya jawaban report laki-laki.
“Ibu tidak melihat kalau selama pandemi, minat masyarakat terhadap barang kita jauh sangat turun? Kalau tak tercapai sampai akhir tahun, biar bonus saya tidak usah dibayarkan.”
Gagal sudah upaya penyelesaian masalah bersama yang sebenarnya sederhana.
Beda tafsir akibat beda orientasi masing-masing, menggagalkan kesepahaman. Tak jarang untuk kedua ilustrasi di atas, diikuti dengan tangisan perempuan.
Tangisan itu pun ungkapan rapport, bahwa isi pikiran perempuan tak seperti yang laki-laki bayangkan.
Ketika kata-kata tak bisa dilontarkan, tangisan jadi penggantinya. Dan laki-laki menghadapi tangisan itu, akan berpikir, Hanya soal sepele kok pakai nangis?
Hari ini ketika penggunaan media sosial makin lazim, berbedakah pengungkapan isi pikiran antar gender, lewat komunikasi berbasis teknologi?
Alina Korovatskaya, 2020 dalam penelitian untuk keperluan tesis masternya di University of New York, dengan judul Genderlects in Social Media, menyebutkan bahwa pada media sosial, baik laki-laki maupun perempuan menampilkan pola linguistik tertentu.
Namun banyak pula pola yang bertentangan satu sama lain.
Artinya, hal yang dilakukan laki-laki pada beberapa tampilan juga dilakukan perempuan. Demikian pula sebaliknya.
Ini menunjukkan tak adanya konsistensi orientasi pengungkapan isi pikiran dalam penggunaaan media sosial.
Baca Juga: Cara Perempuan Menepis Ketakutan yang Ditebarkan Media Sosial
Sedangkan penelitian Sramana Majumdar, Maanya Tewatia, Devika Jamkhedkar dan Khushi Bhatia, 2022, yang berjudul “You Don’t Know Me so Don’t Try to Judge Me”: Gender and Identity Performance on Social Media Among Young Indian Users, menyebut komunikasi antargender di media sosial sama-sama bergantung pada norma offline yang ada.
Ini sekaligus menantang hal yang sama untuk menciptakan wacana baru tentang gender.
Artinya berdasarkan penelitian Majumdar dan kawan-kawan, orientasi berdasar gender di dunia nyata, juga jadi norma pengungkapan isi pikiran di media sosial. Sesuai dengan Teori Genderlect di atas.
Hanya berdasar 2 hasil penelitian ini, tak perlu buru-buru menarik kesimpulan yang tegas, genderlect di media sosial.
Masih perlu serangkaian penelitian yang mencakup variasi ruang dan waktu, yang lebih beragam.
Namun yang jelas dari seluruh uraian dan ilustrasi di atas, orientasi dalam mengungkapkan isi pikiran, merupakan bentuk ekpsresi komunikasi saja.
Salah satu gender lebih nyaman dengan rapport talk, termasuk mengungkapkannya lewat tangisan.
Sedangkan gender yang lain merasa efisien ketika pengungkapannya dengan report talk.
Kesalahpahaman akibat beda orientasi dapat diminimalkan dengan interaksi yang membentuk saling pengertian.
Dan yang terpenting, tak ada kaitannya dengan kualitas isi pikiran. Lebih-lebih ketika dikaitkan dengan kecakapan memimpin.
Kalau bisa sukses memimpin dengan menangis, apa yang salah? (*)