Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Dia menguraikan, laki-laki cenderung merasa kecerdasannya lebih tinggi dibanding perempuan. Seluruhnya semata terdorong oleh ego maskulinitasnya.
Ego maskulinitas ini menolak diri laki-laki lebih rendah dibanding perempuan dalam banyak hal. Termasuk hal yang menyangkut kecerdasan.
Beruntunglah laki-laki, karena ego maskulinitas itu bertemu dengan kerendahatian perempuan, tambah Reilly.
Yang ketika perempuan diminta memperkirakan ukuran kecerdasannya, cenderung menyebut angka yang lebih rendah dari laki-laki.
Jadi soal laki-laki lebih cerdas dari perempuan, bukan merupakan fakta biologis. Itu adalah konstruksi sosial.
Bahwa secara statistik nampak laki-laki lebih banyak menduduki posisi sosial yang membutuhkan kecerdasan, seperti guru besar, pelaku riset, pendaftar hak paten; itu terjadi karena adanya gap kesempatan.
Sayangnya statistik tak dapat menangkap gap kesempatan ini. Ia kemudian mencatatnya secara bias, seolah fakta yang tak tergugat.
Maka agar tak bias, perempuan harus berjuang membuktikan kecerdasannya. Kecerdasan yang tak lebih rendah dari laki-laki.
Ketiga, bentuk konstruksi sosial yang harus ditolak dengan tegas.