Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Ini demi keutuhan eksistensi perempuan sebagai manusia yang punya kehendak bebas sebagaimana laki-laki.
Contoh pernyataan konstruksinya, ‘perempuan hanya sesuai untuk urusan wilayah domestik, dan laki-laki menangani urusan wilayah publik’.
Ini adalah pembagian peran yang bersifat tradisional.
Ketradisonalan logika pembagian peran, domestik vs. publik ini, dapat dilacak asal-usulnya.
Utamanya berdasar peran pengasuhan yang dilekatkan pada perempuan.
Perempuan melahirkan anak-anak, maka sudah seharusnya jika pengasuhan jadi tanggung jawab dia berikutnya.
Menyusui, memperhatikan kecukupan gizi anak, memastikan kesehatan anak dan keluarga, hingga merawat manakala anak maupun anggota keluarga yang lain ada yang sakit.
Pengasuhan adalah urusan domestik, terbaik dilakukan perempuan di rumah.
Baca Juga: Dampak Negatif Mom Shaming bagi Kesehatan Mental Ibu, Jangan Anggap Lumrah!
Dengan absennya perempuan dari urusan publik, maka laki-laki sepenuhnya mengusai ruang ini.
Laki-laki mengisi ruang publik sambil menjauh dari urusan domestik.
Logika ini salah semata, Kawan Puan.
Pertama, dari beberapa jenis pekerjaan pengasuhan di atas, hanya menyusui yang eksklusif perempuan pelakunya. Laki-laki tak bisa.
Tapi sisanya, laki-laki juga dapat berperan.
Mengembangkan kemampuan anak, memperhatikan jenis makanan dan menciptakan ruang sehat bersama, bisa dilakukan laki-laki.
Pengasuhan tak seluruhnya urusan perempuan.
Baca Juga: Seberapa Penting Peran Suami dalam Pengasuhan Anak Berkebutuhan Khusus? Ini Kata Psikolog
Kedua, ketika perempuan tak selalu berada dalam konteks relasi suami-istri, ibu-anak, atas alasan apa perempuan tak diizinkan menyentuh wilayah publik?
Perempuan bisa mewujudkan kecerdasannya, dan berkontribusi pada peradaban, bukan semata jadi Ibu.
Peran terbaik perempuan menjadi ibu, adalah konstuksi lain yang menyesatkan.
Perempuan juga bisa jadi terbaik dalam profesi apapun, selain jadi Ibu.
Pilihan sadar perempuan masuk ke wilayah publik, justru merupakan bentuk kolaborasi dengan laki-laki yang menghasilkan sudut pandang yang lebih lengkap terhadap suatu persoalan.
Persoalan di dunia ini, tak semata selesai, lewat jamahan tangan laki-laki.
Ketiga, pembagian peran tradisional ini, kian tak relevan ketika zamannya telah berubah.
Baca Juga: Alasan Perempuan Lebih Sering Menangis: Beda Orientasi Antar Gender
Di tengah perkembangan teknologi digital, dalam peradaban yang masif menggunakan perangkat digital, wilayah domestik dan publik sudah bukan pada batasan ruang fisik.
Substansi perbedaan ruang ini, tertransformasi ke ruang-ruang aliran yang difasilitasi komputer dan internet.
Maka perempuan, bahkan seorang ibu yang berada dalam aktivitas pengasuhan pun, berkesempatan menyentuh substansi wilayah publik.
Ini selama perempuan punya akses pada penggunaan perangkat berteknologi digital. Maka, peran publik perempuan dapat dijalankannya di wilayah domestik.
Ini sekaligus menunjukkan: Di tengah kemajuan perkembangan teknologi digital, konstruksi sosial jenis ketiga ditolak oleh zaman.
Perempuan Indonesia, terbukti lewat penyelenggaraan Kongres Perempuan 1928, adalah kaum yang punya peran sepenting laki-laki.
Ini terancam redup manakala larut dalam konstruksi sosial yang menyesatkan.
Menjadi Ibu itu hebat, memilih profesi lain tak kalah hebatnya.
Selamat mewujudkan kehendak bebas, Kawan Puan. (*)