Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Dari uraian di atas (terlebih pada pengguna media sosial dengan intensitas penggunaan tinggi) berelasi dengan media sosial berarti membiarkan diri menyaksikan versi sempurna orang lain.
Sebuah pembiaran yang juga dalam intensitas tinggi.
Alih-alih menganggap semua tampilan sempurna itu sekedar gimmick, perilaku yang muncul justru melakukan pembandingan antara diri dengan yang ditontonnya. Ketika berbeda, lantas menggangap diri tak lazim.
Itu semua yang pada akhirnya mengantarkan alam bawah sadar seseorang, sampai pada penilaian: itulah realitas yang harus diraih.
Yang ketika berbeda harus disesuaikan. Termasuk ketika yang berbeda itu adalah standar hidup sendiri, yang sudah nyaman dijalani.
Celakanya, saat kesenjangan antara diri dengan orang lain sangat lebar, tak mustahil rasa insecure justru menghampiri.
Baca Juga: Alasan Tak Perlu Insecure dan Membandingkan Diri dengan Orang Lain Menurut Pakar
Leon Festinger, seorang ahli psikologi sosial Amerika Serikat, lewat buku yang diterbitkannya pada tahun 1957 berjudul A Theory of Cognitive Dissonance, menyebut keadaan tak nyaman itu sebagai satu bentuk Cognitive Dissonance.
Sebuah bentuk yang muncul akibat ketakselarasan pikiran yang dialami seseorang.
Ini terjadi ketika sikap dan keyakinan seseorang, bertentangan dengan perilakunya.