Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Dari yang dialami Megadiana, menyaksikan unggahan media sosial yang membahas soal kulit glowing, mengantarnya pada pengetahuan tentang jenis kulit yang baik vs. yang tak baik.
Bertubi-tubinya unggahan dengan tema senada, membentuk keinginan Megadiana untuk memiliki kulit glowing, seperti yang disaksikannya.
Kenyataanya, kulit Megadiana sawo matang. Kedua orangtuanya juga berkulit sawo matang.
Sebelumnya, Megadiana baik-baik saja dengan dirinya. Tapi lalu timbul pikiran: ada yang salah pada dirinya. Ada yang tak dimilikinya. Ini menyebabkan rasa beda dari perempuan lain.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Drama Korea tentang Insecure, Bikin Kamu Makin Percaya Diri!
Timbul rasa tak nyaman pada Megadiana.
Dan rasa tak nyaman adalah salah satu bentuk cognitive dissonance.
Melihat keadaan di atas Festinger memberikan jalan keluar: Keadaan itu perlu segera diselaraskan.
Mengubah disonansi jadi konsonansi, agar rasa tak nyaman itu tak menghantui.
Caranya bermacam-macam. Bisa mulai dengan mengajak dialog diri sendiri.
Kenapa saya mesti merasa berbeda. Bukankah sawo matang memang warna kulit bangsa Indonesia? Genetika bangsa ini, bukan kulit glowing.
Sebuah upaya konsonansi yang bersumber pada penerimaan diri.
Atau jika rasa tak nyaman itu tak juga beranjak pergi, dapat melakukan tindakan nyata: Mengonsumsi produk yang janjinya mampu mengubah kulit jadi glowing.
Memahami teori yang dikembangkan Leon Festinger ini bermanfaat untuk menolong diri sendiri mencapai konsonansi.
Namun dalam penerapan yang lebih luas, pengetahuan ini digunakan pihak tertentu untuk memanipulasi kehadiran rasa tak nyaman.
Rasa tak nyaman yang dapat diakhiri dengan mengonsumsi produk dagangan.
Terkonfirmasi, dalam realitasnya: pemasar, ahli komunikasi, dan perekayasa gerakan sosial, banyak memanfaatkan teori ini.
Rasa tak nyaman adalah modal yang diperlukan untuk menolak tubuh dan memperbaikinya dengan konsumsi.
Hari ini teori Leon Festinger masih kerap dimanfaatkan.
Dalam relasi yang diperantarai media sosial, keadaan tak nyaman sengaja diciptakan. Pelakunya, individu-individu pemilik akun media sosial.
Mereka bertindak mandiri menciptakan standar tubuh bagi pihak lain. Atau bekerja sama sebagai kolaborator industri perekayasa tubuh: industri kecantikan, industri kemolekan, industri kebersihan tubuh.
Seluruhnya menyasar tubuh perempuan.
Tubuh alamiah perempuan kerap jadi sasaran komodifikasi dan komoditas produk dagangan.
Ini dipicu tak digenggamnya kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri.
Perempuan membiarkan standar atas tubuhnya disusun pihak lain. Standar yang justru kerap melahirkan rasa tidak nyaman.
Maka yang terjadi berikutnya, ketaknyamanan merongrong perempuan agar bertindak mengubah dirinya.
Tak jarang lewat konsumsi aneka produk.
Seluruhnya, agar tubuh perempuan nyaman dikonsumsi. Ini terjadi pada relasi yang patriarkis.
Kawan Puan, perempuan sendirilah yang harus merebut kuasa atas tubuhnya.
Terserah akan ditampilkan seperti apa dan bagaimana caranya. Tak membiarkan unggahan media sosial jadi standar pencapaian. (*)