Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Delapan dari 10 tawaran produk kecantikan ditujukan pada perempuan; dan dalam komposisi yang kurang lebih sama, produk perawatan tubuh juga menyasar pada gender ini.
Demikian juga konsep kecantikan, kemolekan, dan kebersihan tubuh. Seluruhnya tertuju pada perempuan.
Mengapa tidak pada laki-laki? Apakah laki-laki tidak membutuhkan itu semua?
Menggambarkan keadaan ini Profesor Ariel Heryanto dalam tulisan lamanya yang dimuat di Harian Kompas, 14 September 1997, berjudul “Cantik” menuliskan,
“Hidup penuh dengan Ironi. Jutaan wanita di dunia mati-matian mengejar kecantikan. Untuk apa? Untuk siapa? Di kota pusat mode bernama Paris seorang idola kecantikan telah terbunuh. Di planet Bumi ini dianggap cantik punya risiko serius. Mirip dianggap “komunis” di zaman Perang Dingin di negeri-negeri blok kapitalis”.
Konteks tulisan Prof. Ariel adalah deskripsi soal tak imbangnya relasi atau hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Tentu saja pada sistem yang patriarkis.
Dalam ketidakseimbangan ini, tubuh perempuan bahkan bukan milik penuh dirinya.
Baca Juga: Voice of Baceprot Angkat Isu Otoritas Tubuh Perempuan Lewat Single Terbarunya
Perempuan dalam tubuh dan kecantikannya dikomodifikasi. Dijadikan produk dagangan yang punya nilai tukar.
Gambar kemolekannya ditampilkan sebagai sampul depan media. Cerita hidupnya beredar jadi berita utama. Sebuah pengemasan yang strategis, agar punya daya tarik mendongkrak peredaran media.
Juga pada akhirnya, tubuh perempuan jadi sasaran pemasaran komoditas kecantikan, kemolekan, maupun perawatan tubuh.
Seluruhnya, agar perempuan dapat ditampilkan elok, nyaman dikonsumsi laki-laki.
Uraian Prof. Ariel di atas terjadi saat media analog jadi raja di jagad informasi.
Hari ini ketika media digital menggeser perannya, modus yang dijalankan tak jauh berbeda. Hanya operatornya saja yang bertukar posisi.
Pada masa media analog, komodifikasi dijalankan organisasi media, institusi perancang iklan, atau lembaga perawatan kemolekan tubuh.
Sedangkan di masa media digital, lewat kepemilikan media sosial, individu-individu lah yang melakukannya.
Mereka punya profesi dengan sebutan megah, endorser, influencer, atau buzzer. Masing-masing punya ciri cara kerja yang berbeda.
Perkenalkan. Namanya Megadiana.
Seorang pelajar kelas 1 di SMA di sebuah kota yang jauh dari hiruk pikuk ibukota.
Dari tingkat sekolah yang sedang ditempuhnya, Megadiana adalah perempuan yang beranjak jadi perempuan dewasa.
Sama seperti teman-teman sebayanya, perempuan muda ini punya beberapa akun media sosial. TikTok, Instagram, aktif di group WA untuk aneka aktivitas.
Tak jarang juga Megadiana menikmati tayangan Youtube, walaupun dia tak punya channel yang digarapnya serius.
Jika sedang menginginkan kisah-kisah di luar perhatiannya yang dipadati aktivitas sekolah, tak jarang Megadiana membaca cerita karya kaum sepantarannya lewat Wattpad.
Baca Juga: Tak Perlu Insecure, Ini 5 Hal yang Perempuan Single Perlu Lakukan
Menggambarkan perempuan muda ini, layaknya menggambarkan perempuan Gen Z lain, yang hidup hari ini.
Dari relasinya dengan media sosial, Megadiana tak jarang mengalami insecurity.
Mulai dari rasa insecure soal kecerahan kulit wajah, berat tubuh ideal, status kepemilikan pacar, hingga pencapaian hidup dalam menyongsong masa depannya.
Yang disaksikan Megadiana lewat media sosial adalah bahwa seorang perempuan harus punya kulit wajah glowing bak bintang drama Korea.
Harus punya berat badan yang seimbang dengan tinggi badannya serta punya pacar yang dapat jadi tempat perlindungan diri, alih-alih jadi sandaran hati.
Dan yang terpenting, punya kemampuan memasak dan merawat rumah. Ini persiapan untuk menjalani kehidupan rumah tangga bahagia.
Soal bagaimana perempuan mengimpikan pencapaian prestasi sekolah maupun kiprahnya di tempat kerja, jarang disaksikan Megadiana. Tentu ini bukan soal algoritma belaka.
Yang kerap dikonsumsi Megadiana, seakan standar untuk jadi perempuan seutuhnya.
Standar yang jika ditelaah lebih dalam, adalah ketaknyamanan untuk memiliki tubuh dalam tafsirnya sendiri. Termasuk memilih jadi diri apa adanya.
Baca Juga: Rasa Insecure Perempuan Mendorong Shandy Purnamasari untuk Membuat Produk Perawatan MS Glow
Seluruhnya adalah keadaan yang menimbulkan “insecure”. Kosakata para pengguna media sosial yang beredar intensif di tengah pergaulan Gen Z. (Sebetulnya, kata yang tepat digunakan adalah insecurity. Tapi para Gen Z memang lebih sering menyebutnya "insecure".)
Konsep “insecure” menjelaskan tentang ketidaknyamanan mental yang dialami seseorang.
Leslie Backer-Phelps, PhD., 2016 dalam artikelnya yang dimuat di Psychology Today dengan judul, “Social Media Fosters Insecurity: How to Overcome It”, menguraikan kemunculan keadaan "insecure" ini di kalangan pengguna media sosial.
Menurutnya, melalui media sosial seseorang intensif terpapar dengan kehidupan orang lain. Seluruhnya ditampilkan dalam versi yang sempurna.
Melalui Youtube akan ditonton bakat orang yang luar biasa, juga dalam penampilan yang di atas rata-rata. Demikian juga dengan media sosial yang lain.
Membandingkan adalah mekanisme wajar yang kemudian hadir sebagai kelanjutannya.
Dari uraian di atas (terlebih pada pengguna media sosial dengan intensitas penggunaan tinggi) berelasi dengan media sosial berarti membiarkan diri menyaksikan versi sempurna orang lain.
Sebuah pembiaran yang juga dalam intensitas tinggi.
Alih-alih menganggap semua tampilan sempurna itu sekedar gimmick, perilaku yang muncul justru melakukan pembandingan antara diri dengan yang ditontonnya. Ketika berbeda, lantas menggangap diri tak lazim.
Itu semua yang pada akhirnya mengantarkan alam bawah sadar seseorang, sampai pada penilaian: itulah realitas yang harus diraih.
Yang ketika berbeda harus disesuaikan. Termasuk ketika yang berbeda itu adalah standar hidup sendiri, yang sudah nyaman dijalani.
Celakanya, saat kesenjangan antara diri dengan orang lain sangat lebar, tak mustahil rasa insecure justru menghampiri.
Baca Juga: Alasan Tak Perlu Insecure dan Membandingkan Diri dengan Orang Lain Menurut Pakar
Leon Festinger, seorang ahli psikologi sosial Amerika Serikat, lewat buku yang diterbitkannya pada tahun 1957 berjudul A Theory of Cognitive Dissonance, menyebut keadaan tak nyaman itu sebagai satu bentuk Cognitive Dissonance.
Sebuah bentuk yang muncul akibat ketakselarasan pikiran yang dialami seseorang.
Ini terjadi ketika sikap dan keyakinan seseorang, bertentangan dengan perilakunya.
Dari yang dialami Megadiana, menyaksikan unggahan media sosial yang membahas soal kulit glowing, mengantarnya pada pengetahuan tentang jenis kulit yang baik vs. yang tak baik.
Bertubi-tubinya unggahan dengan tema senada, membentuk keinginan Megadiana untuk memiliki kulit glowing, seperti yang disaksikannya.
Kenyataanya, kulit Megadiana sawo matang. Kedua orangtuanya juga berkulit sawo matang.
Sebelumnya, Megadiana baik-baik saja dengan dirinya. Tapi lalu timbul pikiran: ada yang salah pada dirinya. Ada yang tak dimilikinya. Ini menyebabkan rasa beda dari perempuan lain.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Drama Korea tentang Insecure, Bikin Kamu Makin Percaya Diri!
Timbul rasa tak nyaman pada Megadiana.
Dan rasa tak nyaman adalah salah satu bentuk cognitive dissonance.
Melihat keadaan di atas Festinger memberikan jalan keluar: Keadaan itu perlu segera diselaraskan.
Mengubah disonansi jadi konsonansi, agar rasa tak nyaman itu tak menghantui.
Caranya bermacam-macam. Bisa mulai dengan mengajak dialog diri sendiri.
Kenapa saya mesti merasa berbeda. Bukankah sawo matang memang warna kulit bangsa Indonesia? Genetika bangsa ini, bukan kulit glowing.
Sebuah upaya konsonansi yang bersumber pada penerimaan diri.
Atau jika rasa tak nyaman itu tak juga beranjak pergi, dapat melakukan tindakan nyata: Mengonsumsi produk yang janjinya mampu mengubah kulit jadi glowing.
Memahami teori yang dikembangkan Leon Festinger ini bermanfaat untuk menolong diri sendiri mencapai konsonansi.
Namun dalam penerapan yang lebih luas, pengetahuan ini digunakan pihak tertentu untuk memanipulasi kehadiran rasa tak nyaman.
Rasa tak nyaman yang dapat diakhiri dengan mengonsumsi produk dagangan.
Terkonfirmasi, dalam realitasnya: pemasar, ahli komunikasi, dan perekayasa gerakan sosial, banyak memanfaatkan teori ini.
Rasa tak nyaman adalah modal yang diperlukan untuk menolak tubuh dan memperbaikinya dengan konsumsi.
Hari ini teori Leon Festinger masih kerap dimanfaatkan.
Dalam relasi yang diperantarai media sosial, keadaan tak nyaman sengaja diciptakan. Pelakunya, individu-individu pemilik akun media sosial.
Mereka bertindak mandiri menciptakan standar tubuh bagi pihak lain. Atau bekerja sama sebagai kolaborator industri perekayasa tubuh: industri kecantikan, industri kemolekan, industri kebersihan tubuh.
Seluruhnya menyasar tubuh perempuan.
Tubuh alamiah perempuan kerap jadi sasaran komodifikasi dan komoditas produk dagangan.
Ini dipicu tak digenggamnya kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri.
Perempuan membiarkan standar atas tubuhnya disusun pihak lain. Standar yang justru kerap melahirkan rasa tidak nyaman.
Maka yang terjadi berikutnya, ketaknyamanan merongrong perempuan agar bertindak mengubah dirinya.
Tak jarang lewat konsumsi aneka produk.
Seluruhnya, agar tubuh perempuan nyaman dikonsumsi. Ini terjadi pada relasi yang patriarkis.
Kawan Puan, perempuan sendirilah yang harus merebut kuasa atas tubuhnya.
Terserah akan ditampilkan seperti apa dan bagaimana caranya. Tak membiarkan unggahan media sosial jadi standar pencapaian. (*)