Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - “Tidak ada topik itu adalah topik”. Seandainya lazim, pada ungkapan pembuka ini, akan saya cantumkan emoticon senyum lebar.
Hari ini saat saya mulai menulis, tak mudah menemukan topik seperti biasanya. Sebagai orang yang punya kebiasaan mengungkapkan isi pikiran lewat tulisan, anomali ini mendatangkan rasa tak nyaman.
Apakah tak munculnya ide memang karena tak ada topik yang patut dibagikan? Atau sekedar malas memikirkannya? Inikah yang disebut mental block? Atau persediaan pengetahuan saya sudah tak cukup?
Ternyata, tak ada topik adalah mitos. Dan yang terjadi hari ini, mitos untuk menutupi rasa malas.
Dalam jenis mitos seperti ini, lazimnya diikuti penggunaan istilah yang canggih. Misalnya mental block atau insufficient capability, juga istilah lain yang tak mudah dimengerti.
Ini agar tak muncul pertanyaan lebih lanjut. Namun seluruhnya bertujuan agar dunia tahu telah terjadi persoalan besar yang menyebabkan terlambatnya tulisan minggu ini.
Padahal yang benar, hanya nyaris kalah dari rasa malas. Setelah malas itu kalah, ide tulisan kembali mengalir lancar.
Tak punya topik adalah topiknya. Di akhir kalimat, nampaknya harus ditutup dengan emoticon tertawa lebar.
Baca Juga: Mitos dan Aspek Struktural: Kesenjangan Gender dari Hulu hingga Hilir
Mitos kerap hadir dalam bentuk cerita rakyat atau penjelasan yang melampaui panjangnya zaman.
Kandungannya berupa pernyataan terhadap hal-hal tertentu, namun isinya tak jarang mengelabui. Tak mengungkap yang sebenarnya.
Mitos juga hadir berupa penjelasan yang belum teruji kebenarannya. Bahkan memang tak mengandung kebenaran sama sekali.
Mitos jenis kedua ini menyangkut kejadian-kejadian masa lampau, saat ilmu pengetahuan belum berkembang seperti hari ini.
Mitos tentang gempa bumi, gerhana bulan, atau atlas yang menopang alam semesta. Yunani adalah gudangnya mitos masa lampau.
Tentang mitos, Jessica Mellenthin dan Susan O. Shapiro, 2017, menjelaskan gamblang lewat buku yang ditulisnya, Mythology Unbound: An Online Textbook for Classical Mythology.
Menurut keduanya, mitos adalah cerita yang tidak benar atau desas-desus palsu. Bangsa Yunani menggunakan mitos sebagai penjelasan rasional yang bersifat analitis.
Baca Juga: Sutradara Fajar Nugros Angkat Mitos Rebo Wekasan dalam Film Horor Inang
Jenis mitos, lanjut Mellenthin dan Shapiro, sedikitnya ada 3 macam: mitos etiologis, mitos sejarah, dan mitos psikologis.
Mitos tentang kemalasan menulis dan menyembunyikannya dalam istilah canggih seperti di atas, tergolong mitos psikologis. Mengalami gangguan mental tertentu, tapi enggan mengakuinya.
Roland Barthes, esais Perancis, dalam bukunya berjudul Mythologies yang terbit perdana tahun 1957, menyebut mitos sebagai produk budaya manusia yang tak terjadi apa adanya.
Dia berbeda dari gurunya, Ferdinand de Saussure. Sang Guru menyebut, makna sebatas denotatif. Makna melekat pada materialnya.
Bagi Barthes, makna sangat tergantung pada ruang dan waktu keberadaannya.
Makna dapat berkembang dari denotasi, lalu konotasi, mitos, hingga ideologis. Seluruhnya diniatkan untuk mencapai tujuan komunikasi tertentu.
Pada ruang dan waktu yang berbeda, makna yang dilahirkan berbeda pula.
Makna merupakan objek konstruksi untuk mencapai pandangan dunia tertentu. Karenanya ia dapat mudah dibentuk, diubah, dibatalkan. Menuruti tujuan komunikasi yang dikehendaki.
Baca Juga: Mereka yang Menciptakan dan Diuntungkan oleh Rasa Insecure Perempuan
Kalau Kawan Puan bingung, begini ilustrasi mudahnya.
Terhadap peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan perempuan misalnya: Mengapa iklan untuk produk-produk kesehatan lebih banyak diperankan dan menyasar perempuan? Apakah laki-laki tak berkepentingan?
Untuk peristiwa macam ini, penjelasan yang kerap beredar: Karena yang lebih bermasalah dalam urusan kesehatan adalah perempuan, sehingga kelompok perempuan harus disadarkan soal kesehatan.
Perempuan sasaran utama komunikasi macam ini.
Yang jadi sasaran perempuan, yang memerankan iklannya perempuan. Nampak masuk akal, tapi benarkah demikian?
Dalam telaah biologis, jumlah sel darah merah, sel darah putih, volume paru-paru dalam menampung oksigen, maupun banyak fungsi tubuh lainnya, kapasitas organ tubuh laki-laki lebih unggul dibanding perempuan.
Ini kenyataan alamiah. Artinya, organ penanggungjawab pasokan energi laki-laki punya kemampuan lebih tinggi.
Maka ketika perempuan sama aktifnya dengan laki-laki, sementara kapasitas pasokan energinya lebih rendah, yang terjadi adalah pemaksaan organ tubuh perempuan.
Dalam jangka waktu tertentu, ini menimbulkan persoalan kesehatan bagi perempuan. Sampai sini, masih nampak masuk akal.
Namun dalam realitasnya, penggunaan tubuh perempuan tak pernah persis sama dengan laki-laki.
Jumlah waktu penggunaannya acak, jenis akitvitas yang dilakukan tak standar. Seluruhnya bisa sangat berbeda.
Di satu jenis pekerjaan, penggunaan tubuh lebih berat. Namun pada jenis yang lain, penggunannya lebih ringan. Itu lazim terjadi pada perempuan maupun laki-laki.
Maka itu artinya, jika kapasistas organ tubuh dikaitkan dengan ancaman kesehatan, tubuh perempuan sama rentannya dengan tubuh laki-laki.
Baca Juga: 3 Mitos Soal Kehidupan Pernikahan yang Masih Banyak Dipercaya Orang
Keduanya berpeluang memaksa penggunaan tubuh lebih tinggi dari kapasitasnya.
Kerentanan kesehatan tak serta merta urusan perempuan. Karenanya, tak ada alasan iklan kesehatan harus disasarkan pada perempuan.
Penjelasan jenis ini adalah mitos. Seluruhnya sesuai uraian Jessica Mellenthin, Susan Shapiro, dan tentu saja Roland Barthes: untuk mencapai tujuan tertentu
Uraian yang relevan menyangkut iklan yang banyak menyasar perempuan, relevan dengan ungkapan Tamar Freundlich.
Itu disampaikannya lewat artikel yang berjudul “Marketing to Women: What We Can Learn from The Past Century”.
Artikel ini terbit tahun 2020, dengan pernyataannya kurang lebih: Perempuan merupakan pendorong 70% - 80% dari semua pembelian.
Pembelian itu menyangkut produk yang digunakan perempuan sendiri.
Namun perempuan juga jadi pendorong bagi pembelian produk pria. Perempuan melayani anak-anak maupun orang tua, dan melakukan pembelian atas nama seluruh rumah tangga.
Pernyataan Freundlich itu juga benar dalam pengertian, perempuan adalah tokoh belanja.
Baca Juga: Berdasar Riset, Ini Alasan Perempuan Menyukai Belanja Online
Urusan belanja yang sifatnya domestik, ada di tangan perempuan. Maka bukan saja iklan produk kesehatan yang ditujukan pada perempuan. Untuk keperluan rumah tangga lainnya, iklan juga disasarkan pada perempuan.
Jika ditujukan pada laki-laki, akan salah sasaran. Ini karena laki-laki sedang terlibat pada urusan publik. Belanja bukan urusan publik.
Maka yang benar terjadi lewat iklan, pembagian peran domestik vs. publik antara laki-laki dengan perempuan. Seluruhnya kemudian dilanggengkan lewat iklan.
Mitos soal kerentanan kesehatan di atas, sekedar membalut kebenaran yang senyatanya: perempuan diletakkan untuk urusan domestik.
Mitos-mitos yang hadir hari ini banyak berjenis psikologis. Ini untuk mencapai tujuan komunikasi tertentu. Karenanya ditampilkan tanpa muatan kebenaran yang sejati.
Ada peristiwa gaji perempuan yang lebih rendah dari laki-laki. Padahal pekerjaannya sama. Ini dijelaskan sebagai: Kemampuan perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Juga, keperluan hari libur perempuan lebih banyak dari laki-laki. Libur datang bulan, libur melahirkan, juga peluang permintaan libur menyelesaikan urusan domestik yang tak bisa ditolak oleh tempat bekerja.
Seluruh penjelasan mengesahkan tudingan bahwa produktivitas perempuan bakal lebih rendah dari laki-laki. Maka, sepantasnya jika gaji yang diterima lebih rendah.
Sebagai bentuk tekanan psikologis, penjelasan ini kemudian sulit ditolak perempuan.
Namun kenyataannya, banyak perempuan punya kemampuan sama dengan laki-laki. Bahkan banyak yang lebih unggul.
Banyak juga yang tak membutuhkan jumlah hari libur lebih banyak, lantaran masih lajang. Yang terjadi, gaji yang diterima tetap lebih kecil daripada laki-laki, padahal tak ada persoalan produktivitas sama sekali.
Maka penjelasan yang benar, seluruhnya agar perempuan merasa tak nyaman dengan ketakadilan yang dialaminya.
Perempuan frustrasi dengan diskriminasi. Dan itu tak bakal terjadi, jika perempuan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Karenanya, segera saja kembali ke wilayah domestik.
Mitos produktivitas dikembangkan untuk membalut penggiringan perempuan, kembali ke wilayah domestik.
Apakah kemudian mitos reda di zaman teknologi digital? Sarana yang menyebabkan tak relevannya pembagian ruang domestik vs. ruang publik?
Justru hadir mitos yang lain: Pekerjaan-pekerjaan yang bahkan dapat dikerjakan dari rumah, memerlukan penggunaan dan penguasaan teknologi.
Dalam banyak hal perempuan tak nyaman dengan teknologi. Maka, gaji bagi perempuan tetap tak bisa disetarakan dengan laki-laki.
Jenis pekerjaan perempuan pun, diberikan yang bersifat klerikal dan rutin. Sebab di luar itu, hanya laki-laki yang layak melakukannya.
Lagi-lagi agar perempuan terlena, menepi dari urusan-urusan publik. Kebenaran sekali lagi tersembunyi dalam mitos.
Kawan Puan, sudah saatnya perempuan dengan kecerdasannya, membongkar mitos.
Lewat teknologi yang tersedia melimpah, bahkan gratis. Yang bisa menjadi sarana penyingkap kebenaran, yang selama ini rapat disembunyikan. (*)