Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
National Democratic Institute (2019) turut melaporkan, perempuan adalah gender yang paling banyak mengalami bullying di dunia maya dalam bentuk penghinaan/ejekan, mempermalukan, perusakan reputasi, hingga ancaman kekerasan dan seksual.
Siklus Perundungan yang Sulit Berhenti
Perundungan bukan suatu hal yang baru.
Lama sebelum aktivitas manusia berpindah secara masif ke ruang digital, merundung dan mengejek seseorang bahkan sudah dimulai sejak masa kanak-kanak ketika ada seorang anak yang terlihat berbeda dari anak-anak lainnya.
Baca Juga: 3 Alasan Anak Tidak Mau Cerita tentang Bullying yang Dialaminya ke Orang Tua
Maraknya perundungan di ruang digital disebabkan oleh sifat dan karakteristik internet yang mampu menyediakan anonimitas (tanpa nama) kepada penggunanya.
Akibatnya, identitas si perundung dapat disembunyikan bahkan tidak diketahui.
Selain itu, perundungan hanya terjadi di depan layar gawai yang sama sekali tidak membutuhkan kontak fisik atau pertemuan langsung dengan korban.
Maka dari itu, luka yang ditimbulkan akibat perundungan tidak terlihat secara kasatmata, sehingga muncul anggapan ketiadaan luka fisik berarti tidak ada luka sama sekali.
Kenyataannya, merundung di media sosial bahkan jauh lebih berbahaya dibanding merundung secara langsung.