Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Zoe Gabriel menjadi korban perundungan (bullying) di media sosial TikTok hanya karena dia membagikan kebahagiaannya mendapatkan handbag jenama Charles & Keith.
Dalam video Tiktok berdurasi 30 detik tersebut, Zoe merasa begitu senang bisa memiliki tas mewah pertama dalam hidupnya.
Penyebutan kata mewah (luxury) dalam video Zoe inilah yang akhirnya menuai komentar sinis dan ejekan dari TikTokers lainnya.
Zoe dinilai tidak mengerti definisi mengenai barang mewah (luxury goods) dan tidak memiliki pengetahuan tentang jenama (brand) apa yang termasuk dalam kategori barang mewah.
Ejekan yang diterima oleh Zoe berbuah manis sebab founder Charles & Keith mengundang Zoe dan ayahnya langsung ke kantor pusat brand mereka untuk memberikan tur eksklusif.
Baca Juga: Viral di TikTok Tas Charles & Keith, Ini Hierarki Brand Fashion Mewah
Namun pengalaman Zoe menegaskan kenyataan yang semakin mengkhawatirkan tentang hilangnya empati dan sensitivitas para pengguna media sosial pada saat mengomentari postingan pengguna lainnya.
Kebebasan berbicara dan berekspresi di ranah virtual malah sering diterjemahkan lewat bentuk perundungan, mengejek, hingga menyebarkan ujaran kebencian.
Tak heran jika Jaron Lanier (2018) dalam bukunya Ten Arguments For Deleting Your Social Media Accounts Right Now menyatakan, penggunaan media sosial telah mengubah dan mengelompokkan para penggunanya menjadi bajingan yang sudah mati rasa dengan tak memiliki rasa hormat dan empati terhadap orang lain.
National Democratic Institute (2019) turut melaporkan, perempuan adalah gender yang paling banyak mengalami bullying di dunia maya dalam bentuk penghinaan/ejekan, mempermalukan, perusakan reputasi, hingga ancaman kekerasan dan seksual.
Siklus Perundungan yang Sulit Berhenti
Perundungan bukan suatu hal yang baru.
Lama sebelum aktivitas manusia berpindah secara masif ke ruang digital, merundung dan mengejek seseorang bahkan sudah dimulai sejak masa kanak-kanak ketika ada seorang anak yang terlihat berbeda dari anak-anak lainnya.
Baca Juga: 3 Alasan Anak Tidak Mau Cerita tentang Bullying yang Dialaminya ke Orang Tua
Maraknya perundungan di ruang digital disebabkan oleh sifat dan karakteristik internet yang mampu menyediakan anonimitas (tanpa nama) kepada penggunanya.
Akibatnya, identitas si perundung dapat disembunyikan bahkan tidak diketahui.
Selain itu, perundungan hanya terjadi di depan layar gawai yang sama sekali tidak membutuhkan kontak fisik atau pertemuan langsung dengan korban.
Maka dari itu, luka yang ditimbulkan akibat perundungan tidak terlihat secara kasatmata, sehingga muncul anggapan ketiadaan luka fisik berarti tidak ada luka sama sekali.
Kenyataannya, merundung di media sosial bahkan jauh lebih berbahaya dibanding merundung secara langsung.
Jejak digital tidak bisa hilang, sehingga korban perundungan akan selalu menemukan ‘peninggalan’ terkait perundungan dirinya dalam arsip digital.
Arsip digital ini pun malah bisa diakses oleh pengguna internet lain dalam skala jejaring global, sehingga kemungkinan perundungan akan semakin besar dengan bertambahnya jumlah partisipasi perundung yang terlibat.
Oleh karena akses digital tak pernah berhenti 24/7, kegiatan merundung akan terus berlanjut.
Baca Juga: Waspada! Ini Dampak Jangka Panjang Bullying pada Korban dan Pelaku
Tak peduli si perundung mengomentari hal tersebut di malam hari atau menjelang subuh. Sudah pasti tekanan yang diterima oleh korban tak usai-usai.
Cerita Zoe yang terjadi di Singapura dapat mengundang perundung dari negara lain seperti China, Australia, Indonesia, dan lainnya.
TikTok yang menjadi platform Zoe dalam membagikan postingan tentang luxury goods juga digunakan oleh pengguna internet di belahan dunia lainnya.
Maka dari itu perundungan tidak akan pernah berhenti ketika perundung terus berdatangan dari penjuru negara di dunia.
Baca Juga: Mengenal 3 Fitur Baru Instagram yang Lindungi Pengguna dari Komentar Negatif
Bullying Demi Memperoleh Kontrol Atas Orang Lain
Sejak media sosial beralih fungsi sebagai tool (perangkat) pemasaran alih-alih networking, hampir segala postingan mengandung tendensi untuk menunjukkan kuasa dan kontrol si pemilik akun terhadap pengguna lainnya.
Postingan media sosial menjadi upaya bagi seorang pengguna untuk mendapatkan validasi serta pengakuan dan penerimaan sosial.
Setiap postingan harus membuat orang lain iri, atau setidaknya kesengsem, dengan tampilan dan kepemilikan barang yang ditunjukkan di laman media sosial.
Dengan begitu, si pengguna memperoleh status sosial tinggi dengan menjadi pusat perhatian dan bisa mempengaruhi orang lain (seperti selebgram atau influencer).
Baca Juga: Mereka yang Menciptakan dan Diuntungkan oleh Rasa Insecure Perempuan
Namun pertunjukan kuasa di postingan media sosial tak melulu lewat postingan fantastis yang membuat pengguna lain terbelalak.
Mengintimidasi, menghina, dan mempermalukan pengguna lain juga adalah bentuk pertunjukan kuasa.
Karena itu rantai siklus perundungan sulit putus karena setiap orang cenderung ingin mengontrol orang lain.
Hampir segala aspek dapat menjadi sasaran ejekan: usia, disabilitas, ras, agama, gender, preferensi seksual, pilihan politik, kewarganegaraan, karakter dan kepribadian, hingga hobi dan kesenangan individual.
Dalam benak si perundung media sosial, cyberbullying adalah cara untuk mendapatkan validasi dari pengguna lain bahwa dia merupakan bagian dari sesuatu yang tengah viral dan mampu menunjukkan ‘kekuatan’ untuk melakukan hal yang sama seperti pengguna lainnya.
Ketika menjadi bagian dari tren yang sedang viral di dalam sesaknya obrolan di ruang maya, si pengguna akan mendapatkan suatu prestige tertentu.
Suatu prestise yang membuatnya merasa berkuasa dapat menentukan discourse (atau wacana) atas hidup dan perasaan orang lain, sekaligus mendapatkan apresiasi tertentu dalam jejaring.
Sungguh suatu cara yang kejam dan biadab!
Baca Juga: Ibu dan Teman Micelle Halim Tuai Kritik Usai Lakukan Cyberbullying di Media Sosial
Menghentikan Rantai Ekosistem Media Sosial yang Beracun
Cyberbullying yang kian marak terjadi di ruang virtual meneguhkan keyakinan bahwa ruang virtual sulit menjadi ruang yang aman untuk berkreasi, berekspresi, bahkan membagikan hal yang personal sebab semuanya berpotensi untuk mengundang cemooh.
Mengubah perilaku netizen untuk menjadi pengguna internet yang santun dan beradab adalah suatu hal yang mustahil.
Algoritma media sosial telah menempatkan mayoritas pengguna dalam gelembung yang dipenuhi oleh konten-konten negatif.
Sebab ternyata konten-konten negatif mampu menarik perhatian lebih banyak pengguna dan menyebabkan warganet lebih lama menghabiskan waktu di depan layar gawai.
Lamanya waktu yang dihabiskan warganet di depan layar merupakan ladang bagi para pengiklan atau stakeholder yang berkepentingan untuk menambah pundi-pundi perusahaan, atau sekedar memperoleh data mengenai kebiasaan konsumsi konten di internet.
Hal paling ekstrem yang bisa dilakukan untuk menghentikan siklus perundungan adalah dengan berhenti menggunakan media sosial.
Sejumlah penelitian telah membuktikan adanya peningkatan kesehatan mental ketika berhenti mengakses media sosial.
Tak jarang puluhan pesohor pun melakukannya, bahkan dengan tidak memiliki akun media sosial sama sekali sejak awal.
Namun berhenti menggunakan media sosial bisa berarti juga menjadi bentuk kekalahan dan ketakutan terhadap pelaku perundungan.
Baca Juga: Selain Rachel Vennya, 3 Selebgram dan Artis Ini Juga Korban Bully Forum Online
Ketika korban menghentikan aktivitas digitalnya, pelaku perundungan merasa puas dan berbangga sebab kontrol dan kuasa yang dia tunjukkan telah berhasil meneror dan menakuti korban.
Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghentikan pengguna yang toxic dalam lingkungan pertemanan di media sosial adalah dengan memberikan batasan (restrictied) terhadap siapa yang boleh/bisa menjadi pengikut media sosial, membatasi/menutup akses kolom komentar, hingga melaporkan akun kurang ajar ke pihak berwenang dan memblokirnya.
Jika mengetahui anggota keluarga, kerabat, atau teman yang juga mengalami perundungan, kita pun harus siap menjadi support system yang siap membela, mendampingi, bahkan mengadvokasi korban lewat jalur hukum.
Dengan begitu, korban merasa tidak sendirian menghadapi perundungan.
Satu hal yang perlu diingat oleh Kawan Puan: Mereka yang melakukan perundungan, terutama di dunia maya, adalah seorang pengecut.
Sebab mereka kerap melakukannya secara berkeroyokan, dan selalu dipenuhi rasa cemburu terhadap kesenangan orang lain. (*)